Puasa itu...menahan lapar dan haus sembari membawa gong


Saya masih setengah mengantuk saat saya tiba di pelataran kuil. Tapi, beberapa penduduk Jepang yang sudah hadir di tempat itu tidak memberikan kami kesempatan untuk melanjutkan tidur. Saya dan teman-teman sudah disodori kain biru beserta aksesoris nya dan kami diminta berganti pakaian secepatnya. Pagi itu memang masih jam 6, dan saya baru selesai sahur mengingat hari itu adalah awal bulan Ramadhan. Suhu pagi itu di bawah 10 derajat dan saya yang masih beradaptasi dengan cuaca makin merindukan  meringkuk di bawah futon (selimut tebal).


Saya terlibat keributan apa lagi ini? Cerita ini terjadi saat saya masih cungkring dan rambut saya masih belah tengah simetris khatulistiwa (Silahkan tebak sendiri tahunnya). Saya dan teman-teman mahasiswa-mahasiswi asing di Saga University diminta untuk  ikut dalam kegiatan matsuri. Matsuri sendiri berarti festival. Di Jepang ada banyak jenis matsuri mengikuti musim atau tujuaannya. Matsuri di musim panas, semi, gugur dan dingin biasanya terkait dengan pertanian (cocok tanam, perlindungan terhadap hama maupun panen yang melimpah). Adapula Tsukagirei yang dilakukan di setiap perpindahan dari satu tahap kehidupan ke kehidupan lainnya. Selain jenis-jenis matsuri di atas, masih banyak lagi matsuri yang lain di Jepang yang mungkin bisa rekan-rekan google jika tertarik. 

Saya yang waktu itu baru pertama kali ke luar negeri tentunya tak ingin melewatkan kesempatan ini. Inilah sindrom anak kampung yang baru pertama kali ke luar negeri, mau coba semuanya. Walhasil, setiap ada kegiatan, nama saya selalu tercantum sebagai peserta di setiap acara, dengan urutan nama paling atas. Ini entah culture shock, banci tampil atau party animal namanya. Untuk acara matsuri di kuil ini sendiri, saya dan teman-teman kudu latihan. Sebelum hari H, saya dan teman-teman yang terlibat di acara ini kerap diundang malam-malam datang ke kuil untuk latihan, mempelajari gerakan-gerakan apa saja yang akan kami lakukan.

Cara ampuh menghilangkan kantuk di pagi hari.... Berfoto bersama 
 Meski di pagi hari H nya saya ngantuk berat karena kurang tidur dan baru habis sahur, saya berusaha menghilangkan kantuk dengan lari-lari kecil dalam ruangan. Setelah berganti pakaian, saya dan teman-teman bergegas menuju ke kuil dan mulai berfoto dengan orang-orang Jepang yang juga telah berganti kostum. Kapan lagi bisa berfoto dalam balutan kostum uni seperti ini. Ternyata berfoto terbukti mampu menghilangkan ngantuk…. Dasar narsis akut yah. Para pria mengenakan kostum biru dan sarung abu-abu lengkap dengan ikat kepala putih. Alat yang harus dibawa oleh para pria adalah gong dengan berat sekitar 4 kilogram lengkap dengan pemukul kayunya. Anak laki-laki mengenakan pakaian yang sama, namun mereka tidak membawa gong melainkan gendang yang diikatkan ke perut mereka masing-masing. Sedangkan peserta wanita mengenakan pakaian hijau (dewasa) dan kuning (anak-anak) dan celemek hitam. Mereka membawa semacam tongkat yang berbunyi saat digerakkan.

Matsuri ini mulai dibuka dengan ritual tarian oleh pembina upacara, errrr maksudnya oleh pemimpin kelompok ini. Pakaiannya beda sendiri, beliau mengenakan pakaian biru bergaris putih dengan hiasan tanduk berbentuk bulan sabit dan bergambar naga.  Kami, para bule bule, belum diijinkan ambil bagian di ritual awal ini. Kami diminta untuk menonton saja di pinggir arena saat pembukaan, mungkin karena bagian ritual ini sakral bagi penduduk lokal. Setelah ritual awal ini, kami (para bule-bule) mulai diijinkan untuk bergabung sambil membawa gong kami masing masing yang beratnya 4 kilo itu.  Rombongan kami juga membawa bedug besar yang didorong menggunakan gerobak.
Pemimpin upacara

Hit the gong till you drop 
Perlahan-lahan kami mulai meninggalkan pelataran kuil dan mulai berkonvoi mengelilingi kota. Ini pengalaman pertama saya ikut festival keagamaan. Sebelum-sebelumnya festival keagamaan yang saya ikuti paling maulid nabi di kampung, itupun saya ikutan pas bagian “rebutan telur”-nya. Dengan enteng saya membawa gong dan memukul gong tersebut mengikuti irama. Ternyata konvoi kami sudah banyak ditunggu oleh warga setempat. Kami kerap harus masuk ke rumah-rumah dan membunyikan gong sambil mengitari rumah yang kami masuki. Saya jadi ada kesempatan melihat banyak interior rumah Jepang di Saga. Nampaknya warga disini percaya bahwa rombongan kami bisa menolak bala untuk rumah mereka jika kami masuk dan membunyikan gong di seputar rumah mereka. Sebagai tanda terima kasih, kami disuguhi kue dan berbagai macam permen dan cokelat oleh empunya rumah. Saya yang puasa tentunya tak mau rugi, makanan-makanan itu saya masukkan dalam kantong untuk persiapan berbuka puasa. Saya jadi mikir, ini kok kayak trick or treat Halloween yah, hehehe. Tahu gini, seharusnya tadi saya bawa kresekan besar buat menampung coklat, kue dan permen sebagai persediaan buka puasa.
Siap siap menjarah coklat, kue dan permen 

Kampanye dua anak cukup, salam Keluarga Berencana dengan menunjukkan dua jari konon berasal dari sini 

Menjelang sore, saya mulai kecapekan. Gong yang tadinya enteng ternyata mulai terasa berat, dan saya mulai kehausan karena memang saya sedang puasa. Saya mulai kurang bisa mengikuti ritme dan akhirnya sudah mulai jalan terseret bahkan sudah hampir ngesot saking haus dan capeknya. Rute kami masih beberapa blok dan saya sudah mulai kehabisan tenaga. Untungnya, beberapa teman mengerti, saya diminta meletakkan gong di gerobak bedug dan cukup berjalan mengikuti rombongan. Saya memilih mendorong bedug saja biar lebih enteng.
An excuse for not carrying the gong
Jam 5 lewat seperempat, kami tiba kembali ke kuil dengan wajah bahagia karena misi telah ditunaikan. Matahari pun sudah terbenam menandakan waktu Maghrib telah tiba untuk kota Saga dan sekitarnya. Saatnya berbuka puasa, Saya ifthar dengan pembagian jatah makan siang yang saya simpan, serta kue, coklat dan permen yang saya kumpulkan. Hari itu, menu buka puasa saya memang aneh, namun nikmatnya benar-benar terasa mungkin karena saya lapar, haus, capek dan beban hari pertama puasa. Membawa gong 4 kilo seharian sambil puasa itu bukan pekerjaan mudah, apalagi dengan godaan permen warna warni, coklat beraneka macam dan pilihan kue yang banyak. Malam itu, saya pulang ke asrama dengan tubuh sangat letih. Saya tertidur cepat malam itu dan terbangun jam 6 pagi hari berikutnya. Yah, saya lupa sahur….. Nasiib.
11 komentar
  1. hahaha...seru kereeeen sekaligus miriiiis ^__^

    Puasa yang penuh godaan ya mas, puasa pertama lagi 0_0
    Trus puasa keduanya? Gak sahur dong??? *puk puk*






    BalasHapus
  2. Ini cerita nya pas jaman lo masih mirip sahrul gunawan yak? hahahaa...

    BalasHapus
  3. Berhasil jalan berapa kilo, tuh, Cip?

    -@p49it-

    BalasHapus
  4. Bener bener dah cetar membahana,festival hunter. Mantappppp

    BalasHapus
  5. Sahrul Gunawannya ga nahaaannn *gagal fokus*

    BalasHapus
  6. Keren banget, ikut berpartisipasi dalam acara budaya setempat.... BTW, gongnya berapa kilo beratnya tuh? * sambil ngebayangin Cipu dengan model rambut belah tengah :D*

    BalasHapus
  7. Liat blog ini via instagram...ooo ini blog barux yah. Okkots.com nya sdh wafat. Hehe

    BalasHapus
  8. Hehehehehe beneran syahrul gunawan ya? Taon berapa nih? Hehhehe

    Btw, seru banget yaa.... Coklat-coklat dan kue kecil tahan buat hidup berapa hari itu?

    BalasHapus
  9. dan semua komen tentang rambut belah tengahnya Cipu... gimana kalo sekarang bikin model kaya gitu lagi Cip ? hahahaha

    BalasHapus
  10. uhhhh, kawaiii :D
    btw, pakaian kyk gtu namanya apa? kimono jugakah? hahah

    oh ya, tiap kali ada acara ato kerja, org jepang pake ikat kepala gtu yaa :p

    BalasHapus
  11. makasih infonya
    artikelnya bagus gan
    btw salam kenal ya
    catatan bang harie

    BalasHapus