Masyarakat dan Perubahan Iklim


Perubahan Iklim 

Istilah Climate Change atau Perubahan Iklim semakin tak asing lagi di telinga kita akhir-akhir ini. Gas Rumah Kaca menjadi “tersangka” dalam fenomena perubahan iklim. Klaim ini mungkin ada benarnya, namun banyak diantara kita yang belum sepenuhnya memahami bahwa gas rumah kaca memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Sebenarnya, tanpa gas rumah kaca suhu rata-rata di bumi menurut para ahli yang tergabung dalam Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) adalah sekitar -19 derajat Celcius. Suhu yang tidak memungkinkan bagi manusia dan sebagian besar organisme lainnya untuk bertahan di bumi.  Gas rumah kaca sebenarnya berfungsi sebagai selimut bagi bumi untuk menjaga bumi agar tetap hangat dan bisa didiami (habitable) oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Namun, seiring dengan penggunaan batu-bara, minyak bumi serta produk turunannya yang menghasilkan emisi GRK dalam jumlah yang sangat besar, “selimut” gas rumah kaca yang menyelimuti bumi menjadi semakin tebal. Akibatnya, semakin banyak panas matahari yang terperangkap di bumi. Selimut yang terlalu tebal pun pasti akan membuat penggunanya kegerahan, pun pada “warga bumi” yang selimut gas rumah kacanyasemakin tebal.

IPCC mencatat bahwa suhu di bumi rata-rata telah naik sebesar 0,7-0,8 derajat Celcius. Akibatnya, efek perubahan iklim mulai terasa antara lain perubahan siklus hidrologi yang berujung pada banjir dan kekeringan, kenaikan air laut, mencairnya es di kutub utara, semakin banyaknya penyakit endemis, kelaparan dan tenggelamnya pulau-pulau kecil. IPCC memprediksikan bahwa kenaikan suhu rata-rata bumi sebesar 2 derajat celcius sudah akan menyebabkan berbagai bencana di berbagai belahan bumi. Nampaknya jalan kita untuk melewati batas kenaikan dua derajat tersebut akan semakin mulus jika langkah-langkah preventif (mitigasi) tidak dilakukan.
Dampak perubahan iklim berdasarkan kenaikan suhu bumi (Sumber: http://www.mindmapart.com/wp-content/uploads/2009/04/impacts-climate-change-mind-map-jane-genovese.jpg)

Dampak dan upaya-upaya penanganan perubahan Iklim

Siapa yang paling rentan terhadap Perubahan Iklim? Yang paling rentan terhadap isu perubahan iklim ini adalah mereka yang hidup di pulau-pulau kecil serta masyarakat pesisir mengingat seringnya badai yang disertai kenaikan air laut. Negara-negara atol di Pasifik, negeri kecil seperti Maldives, pulau pulau kecil di Indonesia, pesisir landai di Bangladesh adalah wilayah-wilayah yang sangat rentan dan kemungkinan hanya tinggal nama dalam satu atau beberapa dekade ke depan jika mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak berjalan dengan baik. Selain itu, para petani juga bisa menjadi kelompok yang rentan dengan ketidakpastian cuaca berupa musim hujan yang tak berkesudahan atau kemarau yang tak berujung yang mengancam ketahanan pangan.

Saat ini, dunia mulai fokus terhadap upaya-upaya pengurangan emisi melalui United Nations Framework for Climate Change (UNFCCC). Sayangnya upaya ini sangat difokuskan ke kegiatan-kegiatan preventif pengurangan emisi berupa kegiatan-kegiatan mitigasi perubahan iklim. Sementara, kegiatan-kegiatan yang menyentuh mereka yang telah terkena dampak perubahan iklim (kegiatan adaptasi) belum begitu diarusutamakan. Dunia berlomba-lomba membuat inovasi ramah lingkungan atau label “hijau” dimana-mana, namun seolah lupa bahwa ada sejumlah orang yang telah terkena dampak akibat dosa kolektif umat manusia. Negeri seperti Maldives, Tuvalu, Samoa dan negara-negara pulau kecil lainnya adalah negara-negara dengan jumlah emisi GRK mendekati nol namun merekalah yang langsung merasakan dampak perubahan iklim berupa cuaca ekstrem dan kenaikan air laut yang perlahan-lahan menenggelamkan pulau serta peradaban yang ada di atasnya.

Dampak masif perubahan iklim terhadap kehidupan umat manusia mengundang atensi banyak pihak dari berbagai belahan dunia, salah satunya adalah Oxfam. Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Oxfam banyak terlibat dalam kampanye isu adaptasi perubahan iklim, khususnya yang terkait dengan dampak perubahan iklim pada petani serta kaitan perubahan iklim dengan gender.


Saat menilik rencana-rencana adaptasi di berbagai tempat, nampak bahwa rencana aksi yang kerap ditawarkan oleh para pemangku kepentingan adalah rencana-rencana teknokratik (teknis) dan sangat top-down. Pembangunan tanggul di daerah pantai, perbaikan sistem irigasi untuk mengatasi kekeringan, peningkatan sistem drainase di daerah rawan banjir hingga migrasi besar-besaran penduduk ke negara lain adalah beberapa contoh rencana adaptasi. Rencana-rencana ini kelak akan menjadi proyek-proyek pembangunan infrastruktur, namun apakah akhirnya rencana-rencana tersebut mencapai tujuannya? Apakah masyarakat sebagai orang yang menikmati realisasi rencana tadi jadi benar-benar terbantu? Jawabnya, kadang ya kadang tidak. Tanggul yang dibangun bisa saja berhasil di beberapa tempat namun gagal di tempat lain, pun irigasi dan drainase. Rencana pemindahan besar-besaran penduduk Tuvalu ke Australia pun ditolak mentah-mentah oleh sebagian penduduk Tuvalu. Sebagian mereka memilih mati di tanah yang telah menghidupi mereka. Ikatan emosional seperti inilah yang kerap hilang dalam sebuah rencana. Rencana yang baik adalah rencana yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pertanyaannya adalah apakah rencana-rencana yang ditawarkan tersebut dirumuskan, dikonsultasikan dan dijalankan bersama dengan masyarakat. Apakah masyarakat dalam rencana ini adalah subjek perencana atau objek penderita?


Masyarakat: pemangku kepentingan yang berdaulat

Kunjungan saya ke sebuah desa pesisir bernama Toli-toli di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara di tahun 2007 mengajarkan sebuah perspektif baru tentang masyarakat yang berdaya. Penduduk desa ini menggantungkan hidup mereka pada hasil laut. Ikan di tempat ini awalnya melimpah dan masyarakat sekitar tak perlu berlayar jauh untuk mendapatkan ikan. Di sekitar tahun 1985, usaha-usaha penangkapan ikan besar mulai masuk di tempat ini dan memperkenalkan penggunaan pukat dan penggunaan peledak untuk menangkap ikan dalam jumlah yang besar. Hutan bakau di sekitar desa pun mulai ditebangi untuk keperluan penduduk. Penduduk perlahan-lahan merasakan jumlah ikan di tempat mereka berkurang. Mereka pun harus berlayar lebih jauh untuk bisa mendapatkan ikan.
Sekelompok (7 orang) pemuda yang kerap berkumpul di kedai kopi di desa itu mulai mendiskusikan hasil tangkapan mereka yang tak pernah memuaskan seperti dulu. Dari diskusi mereka, diperoleh kesimpulan bahwa metode penangkapan ikan menggunakan peledak atau pukat telah merusak ekosistem bawah laut di pesisir desa tersebut serta penebangan hutan bakau adalah pemicu berkurangnya hasil tangkapan mereka. Kampanyepun dimulai, door to door ke rumah warga dengan maksud mengajak warga sekitar menghentikan kegiatan mereka. Meski awalnya mereka dicibir, namun keteguhan mereka mendapatkan perhatian dari kepala desa. Kepala desa selanjutnya menghubungi Bappeda dan LSM setempat untuk mendapatkan bantuan. Serangkaian kampanye publik dan pelatihan pun mulai intens dilakukan di Desa Toli-toli. Pemahaman akan bahaya metode penangkapan ikan yang mereka gunakan perlahan-lahan mulai merubah cara pandang masyarakat bahwa alam tidak memberikan sumber dayanya cuma-cuma, melainkan ada ekosistem yang harus dijaga.
Kawasan konservasi di Desa Toli Toli (Sumber: http://greenpressnetwork.blogspot.com/2012/03/belajar-konservasi-kima-di-toli-toli.html)

Pemerintah dan LSM lokal memberikan sejumlah pelatihan seperti budidaya rumput laut, penanaman kembali mangrove, karang buatan serta pengenalan konsep daerah bebas penangkapan ikan (marine protection zone). Pelatihan ini diikuti oleh masyarakat desa secara sukarela. Pertemuan desa yang kerap dilakukan semakin meyakinkan masyarakat setempat bahwa praktek-praktek penangkapan yang mereka lakukan tidak berkesinambungan dan akan merugikan anak cucu mereka jika dilakukan. Berkat pelatihan tersebut, masyarakat perlahan-lahan berubah. Kegiatan-kegiatan pengrusakan sudah tidak lagi dilakukan dan digantikan dengan konservasi lingkungan. Saat ini, Desa Toli-toli tak hanya memiliki hutan bakau yang menjadi pelindung desa saat badai terjadi, namun desa ini juga membudidayakan rumput laut, karang-karang yang ditanam mulai tumbuh dan yang terpenting adalah jumlah ikan di desa ini kembali melimpah. Warga desa maupun warga luar yang mencoba menangkap ikan secara ilegal di daerah penangkapan ikan harus siap-siap dengan sederet hukuman dan denda dari penduduk desa. Fakta bahwa kegiatan-kegiatan konservasi  masih terus dilakukan hingga saat ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat merasa memiliki program yang mereka jalankan karena mereka memang dilibatkan dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan operasional. 

Suara Masyarakat dalam Pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim


Meski Perubahan Iklim bukan menjadi dasar warga Toli-toli untuk bertindak, namun ada pelajaran yang dapat diambil dan dijadikan bahan untuk menghadapi isu yang lebih global yakni perubahan iklim. Masyarakat Desa Toli-toli adalah contoh masyarakat yang berdaya karena mereka menyadari masalah yang mereka hadapi, mereka memutuskan sendiri solusi tentang masalah yang mereka hadapi dan merencanakannya bersama-sama, mereka menggunakan sumber daya yang mereka miliki dan mereka mengawasi dan terus meningkatkan kualitas lingkungan di sekitar mereka. Semangat ini yang seharusnya kita coba gali dari masyarakat terkait isu adaptasi perubahan iklim. 

Meski kegiatan adaptasi perubahan iklim bertajuk “community based” atau “partisipatif” semakin marak, kerap rasa “partisipatif” dan “berbasis masyarakat” itu tak terlihat. Hal ini disebabkan karena masyarakat masih dianggap sebagai penerima informasi dan objek, bukan sebagai mitra sejajar untuk membuat rencana aksi bersama-sama.

Kegiatan-kegiatan adaptasi berupa pemasangan tanggul, perbaikan sistem irigasi, peningkatan sarana drainase ataupun kegiatan-kegiatan adaptasi lainnya akan menjadi bermakna saat direncanakan dan diimplementasikan bersama. Kearifan lokal dan pengetahuan mereka akan daerah mereka akan sangat bermanfaat dalam kegiatan adaptasi lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bukan tak mungkin, masyarakat memiliki gagasan yang lebih baik atau telah melakukan inisiatif yang tak tertangkap radar kita, seperti masyarakat di desa Toli-toli. Mereka yang lebih mengenal wilayah mereka, mereka yang lebih tahu apa yang mereka butuhkan. Orang luar (outsider) dapat membantu mereka dalam bentuk fasilitasi, memberi bantuan teknis atau dana, namun tidak ikut memutuskan apa yang terbaik untuk mereka.

Proses partisipatif seperti ini memang terkadang memakan waktu lama mengingat banyaknya pihak yang akan terlibat dan banyaknya kepentingan yang akan diakomodasi. Namun, sebuah konsensus dalam perencanaan bisa menjadi landasan kokoh untuk pelaksanaan dan kesinambungan sebuah program atau kegiatan. Pendekatan “one solution fits all” sudah harus ditinggalkan untuk kegiatan-kegiatan terkait adaptasi perubahan ikim, mengingat setiap daerah memiliki dampak perubahan iklim yang berbeda serta sumber daya yang tak sama untuk menghadapi dampak perubahan iklim.

Masyarakat adalah the sleeping giant, tak berarti apa-apa saat ia tidur. Namun, saat ia bangun, ia bisa menghadapi apa saja. So, let’s wake up the giant, cooperate with him and a massive change will come.

Referensi: 

Department of Sustainability and Environment Victoria. (2007). Types of Engagement  Retrieved 19 October 2010, from  http://www.dse.vic.gov.au/DSE/wcmn203.nsf/LinkView/826C50BCDCEEFE5ACA2570760009C8037CF6F92574A8BB1DCA25707C0006ED8B


Halim, A., & Karateng, A. (2006). Good Practice Case Study of Toli-toli Village. Kendari: Japan International Cooperation Agency

Siry, H. Y. (2009). Making Decentralized Coastal Zone Management Work in Indonesia: Case Studies of Kabupaten Konawe and Kabupaten Pangkajene and Kepulauan   Doctor of Philosophy, The Australian National University Canberra. Retrieved from http://dspace.anu.edu.au/bitstream/1885/49360/2/02whole.pdf.pdf

Solomon, S. (2007). Climate Change 2007: the physical science basis: contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change


18 komentar
  1. kalimat di paragrah terakhir juara... manusia adalah the sleeping giant

    BalasHapus
  2. Nice Posting...

    Baca juga tulisan saya :

    http://harris-maulana.blogspot.com/2013/02/kita-dan-perubahan-iklim.html

    Mohon beri komentar,


    Terima Kasih :)

    BalasHapus
  3. Perubahan iklim global jelas bisa menjadi malapetaka dimasa akan datang jika ndak ada usaha konkrit untuk mengatasinya.

    Saya setuju sekali mas tentang perlunya melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan program-program dalam mengatasi dampak perubahan iklim ini. Semoga massive change bisa bener2 terwujud ya mas.:)

    BalasHapus
  4. memang perubahan iklim sekarang sulit di tebak

    BalasHapus
  5. kadang takut sama perubahan iklim yang sekarang

    BalasHapus
  6. rasanya aneh baca tulisan cipu yg bikin kening berkerut gini *ahh, dasar aku msh otak unyu' unyu'*

    btw, ini bwt lomba ato apa cipu?
    btw, kurusan ya skrg :)

    BalasHapus
  7. Om.. Dija gak ngerti postingan yang ini

    BalasHapus
  8. sudah beberapa kali saya berkunjung ke blog ini, tp mengapa anda tidak pernah berkunjung balik ke blog saya ?? saya sangat sedih :( , mudah2 kali ini anda dapat berkunjung melihat blog saya :) , sukses selalu untuk anda dan keluarga :D

    BalasHapus
  9. perubahan iklim. untuk sekarang susah di prediksi :(

    BalasHapus
  10. Artikelnya panjang dan jelas mas :)

    BalasHapus
  11. artikel yang sangat mengesankan.

    BalasHapus
  12. Thans for this post, Cips. Meant a lot :)

    -Lili-

    BalasHapus
  13. Semuanya berasal dari manusianya sendiri, terima kasih atas pencerahannya

    BalasHapus