Pesona Sindang Gile

Bermula dari obrolan ngalur ngidul saya dengan Chris, sahabat saya di Melbourne, via Skype, akhirnya tercetus rencana traveling ke Lombok. Sekitar 10 tahun lalu, Chris sudah pernah mengunjungi Indonesia, namun saat itu ia dan keluarganya menghabiskan liburannya di Bali. Temen saya ini sepertinya agak enggan untuk ke Bali karena dia membayangkan Bali pasti sudah sangat ramai sejak kunjungan terakhirnya 10 tahun yang lalu. Dia ingin tempat liburan yang tak terlalu banyak turis. Rencana awal sebenarnya ke Pulau We di Aceh, namun karena pertimbangan harga tiket Aceh yang agak mahal, lokasi akhirnya kami pindahkan ke Lombok. 

Itinerary pun kami susun bareng via skype. Dari itinerary yang disusun jelas sekali Chris menghindari tempat tempat yang "happening".  Chris rencana akan berada di Indonesia selama 10 hari. Seminggu pertama akan ia habiskan dengan menjelajahi beberapa lokasi surfing dan menjajal ombak pantai pantai di Lombok. Saya akan bergabung di empat hari terakhir Chris di Lombok. Kami berbagi tugas, dia mencari tujuan wisata, saya mengurus bagian administrasi semacam booking hotel, cari mobil dan cari info tentang kapal penyeberangan. 

Hari yang ditentukan tiba, saya tiba di Praya Lombok. Dari Bandara Praya, saya menumpang Bus Damri menuju ke kawasan Senggigi dengan ongkos hanya IDR 30.000. Meski ada banyak jasa taksi dan penyewaan mobil dari bandara ke Senggigi, saya lebih memilih Damri. Biaya taksi ke Senggigi bisa mencapai IDR 200.000 dan saya tidak sedang dalam business trip, so naik taksi memang sudah harus dicoret dari angan-angan saya selama di Lombok. This is a "ngirit" trip, mending duitnya disimpan untuk sewa mobil hehehe.
Hotel Bumi Aditya, lokasinya terpencil di kawasan Senggigi 




Saya tiba di Hotel Bumi Aditya dan disambut Chris dengan hangat. Saya takjub dengan pilihan kamar Chris, kamar non-AC dengan harga IDR 150.000 per malam. Mungkin jika kamar ini di-book oleh orang Indonesia, saya tidak akan takjub. Mengingat Chris berasal dari Melbourne yang memiliki jumlah hari dingin sekitar 300 hari dalam setahun dan kelembaban udara yang rendah, saya jadi sulit membayangkan bagaimana Chris bisa beradaptasi dengan kamar non AC di tengah kelembaban udara di Indonesia yang tinggi. Toh si Chris nampak anteng saja di kamar non-AC. Mungkin karena Chris sudah biasa backpack kali yah, jadi Chris gak menjadi pemilih dan mengeluh tentang kondisi kamar yang sangat sederhana. 

Malam itu, saya dan Chris saling mengupdate berita sambil mengenang masa masa kuliah di Melbourne. Di tengah obrolan, sahabat saya ini mengutarakan pendapatnya tentang Senggigi: "I don't think I wanna stay in Senggigi area for three nights as planned, I don't really like this area, very touristy. What If we just stay here for two nights, so we could stay in Gili Nanggu for two nights instead of one night". Jelas kelihatan kalau Chris tidak begitu suka dengan kawasan Senggigi, saya yang memang ingin memuaskan diri snorkeling dan berjemur ala bule (halah) langsung setuju dengan usulannya. "But tomorrow, we'll still go to the waterfall, right?", tanya saya. "Yup, definitely......, that's the main reason why we are still here", jawab Chris.

Saya sebenarnya tidak begitu tahu tentang objek wisata di Lombok selain tiga Gili yang terkenal itu dan beberapa spot lainnya seperti Pink Beach, Tanjung Aan dan Senggigi. Jadi saat Chris mengusulkan air terjun dalam itinerary kami, saya agak keberatan mengingat lokasinya di Lombok Timur, yang agak jauh dari tempat-tempat wisata lainnya. Tapi si bule satu ini adalah penggila air terjun, jadi saya sedikit harus bisa kompromi. Saya akhirnya setuju untuk mengunjungi air terjun yang namanya pun selalu saya lupa meski si Chris berulang ulang menyebut namanya. 

Untuk menuju ke lokasi air terjun yang dimaksud, satu-satunya pilihan adalah dengan menyewa mobil seharian. Untunglah saya menemukan jasa rental harga miring, IDR 400.000 seharian sudah termasuk bensin dan driver. Jasa Rental ini saya temukan di Kaskus dan deal saya lakukan via telepon ke nomer hape mas Koko (empunya mobil) di 0812-39470242. Mas Koko menjemput kami di hotel tepat waktu dan mulai membawa kami meninggalkan Senggigi menuju ke arah timur Lombok. Si Chris nampak senang sekali karena akhirnya salah satu wishlistnya yaitu melihat air terjun di Lombok segera terwujud. 

Tiga jam kemudian, mobil yang dipandu oleh Mas Koko memasuki kawasan parkir air terjun Sindang Gile. Turun dari mobil, kami mulai dikerubuti pemandu lokal yang menawarkan jasanya menemani kami dan menunjukkan kami jalan ke dua spot air terjun. "Ayo mas, saya temani ke air terjun. Agak sulit lho untuk bisa mencapai air terjun kedua karena mas harus menyeberang sungai. Kalau kurang kenal daerahnya, nanti bisa tersesat". Saya sedikit tergoda untuk menggunakan Pemandu, jadi saya mencoba menanyakan biaya Pemandu. Si Bapak menawarkan harga IDR 100.000. Chris berbisik "According to the website I read, it is a scam. It is not that hard actually to reach two waterfalls". Saya manggut manggut. Lama-lama para pemandu menyerah juga setelah beberapa kali saya menggelengkan kepala. Dan saya malu sendiri, ini siapa yang tuan rumah sih, Si Chris malah tahu lebih banyak tentang tempat ini dibanding saya.
Berjalan turun menyusuri undakan
Saya dan Chris memasuki kawasan air terjun Sindang Gile dan mulai menuruni undakan tangga. Sekitar 15 menit menuruni tangga, kami tiba di air terjun pertama. Chris mulai sibuk memasang tripod dan kamera nya yang segede bagong, saya mulai sibuk mengeluarkan kamera andalan saya: kamera poket jaman baheula. Chris nampak sangat terpesona dengan air terjun di depan kami. Dia benar-benar serius mengambil foto air terjun itu dari berbagai sudut. Air terjun pertama yang kami jumpai di Sindang Gile berupa air terjun bertingkat, yang mungkin memang tak banyak di Australia . Saya mengitari air terjun dan menemukan ada tiga orang yang nampaknya sedang melakukan ritual mandi di bawah air terjun itu. Ah menarik, sayang saya tidak punya kesempatan untuk berbincang dengan mereka. 
Air terjun pertama: Air terjun bertingkat di Sindang Gile

Ritual mandi? 

Ini gak lagi BAB, tapi sepertinya bagian dari ritual

Setelah puas menikmati pemandangan, saya dan Chris melanjutkan perjalanan menuju ke air terjun kedua. Untungnya beberapa turis yang datang banyak yang menyewa guide setempat dan searah dengan kami, jadi kami bisa ikut di belakang mereka (hahahah ngirit biaya perjalanan). Perjalanan ke air terjun kedua menyusuri kanal air tua, hutan dan menyeberangi sungai dan memang lebih sedikit menantang. Setelah sekitar 30 menit berjalan, kami sampai di air terjun kedua yang menurut saya jauh lebih indah dari yang pertama. Air terjun kedua nampak sseperti sebuah air terjun induk yang memiliki beberapa anak air terjun yang mengalir di bawahnya. Tempias air dari air terjun kedua ini juga lebih deras dari air terjun pertama. 
Menyusuri kanal

River crossing bersama dipandu local guide

Tanpa buang-buang waktu, kami dan turis turis lainnya segera berganti pakaian dan mengenakan pakaian renang. Kami mendekati air terjun dan merasakan sensasi percikan air terjun. Beberapa turis termasuk saya dan Chris malah nekad menyusuri pinggir sungai agar bisa berdiri di bawah dan belakang air terjun. Sensasinya sungguh luar biasa, teriakan teriakan puas tak henti-hentinya terdengar dari bawah air terjun. 
Sindang Gile 2: Induk air terjun dan anak-anaknya 

Amazing scenery of Sindang Gile 2
Puas menikmati air terjun dan mengambil foto air terjun ini, rombongan turis yang datang bersama kami perlahan mulai meninggalkan air terjun ini. Saya yang kebetulan membawa bekal nasi bungkus mengajak Chris makan siang dengan suasana alam terbuka dan latar belakang air terbuka. Saya mengajarkan dia cara makan nasi bungkus ala Indonesia, aturannya cuma satu: use your hand. Dan Chris manut, di tengah tengah khidmatnya makan siang si Chris kepedesan. Si Mbok penjual nasi bungkus rupanya memasukkan lauk ayam sambel ke paket nasi nya si Chris hahahaha. 
Cross-cultural lesson No.1: Makan pake tangan 
Kelar makan siang, saya dan Chris bergegas menuju ke tempat parkir mobil. Kalau tadinya kita berjalan menuruni undakan, ujian terakhir sebelum pulang adalah menaiki undakan. Beberapa turis yang menaiki undakan nampak sudah sangat kelelahan untuk bisa sampai ke atas. Beberapa nampak ngos-ngosan di pinggir undakan sambil berusaha mengatur napas. Kami tak banyak bicara dalam perjalanan ke atas, napas kami sudah tersengal-sengal saat kami akhirnya tiba di atas. 

Kami meninggalkan Sindang Gile dengan meninggalkan kesan yang mendalam, betis yang berkonde dan Chris yang mencret-mencret beberapa jam kemudian.     
11 komentar
  1. keren!!
    bule nggak bisa makan pedhes ya?

    BalasHapus
  2. Orang bule kalau punya keiinginan memang kuat banget ya...

    BalasHapus
  3. Air terjunnya keren. Kapan bisa mengunjungi air terjun Sindang Gile.

    BalasHapus
  4. gw masih sebel karena ga diajak *huh

    BalasHapus
  5. sejuk ya, kalo ngerasain tyu kelep nya.. air nya terbang2.. bbbrrr

    BalasHapus
  6. Kalo suka surfing mah ajak aja ke Mentawai Cipu, masuk via Padang. Kalau mau yang masih off the path ke Togian aja di kepulauan Tojo Una2x, bisa masuk lewat Sulteng atau Sulut (ini impian destinasi gw yang belum kesampaian :D....) BTW, memang ke Pulau We mahal ya? Perasaan dulu ngga terlalu (sekitar 1-2 jutaan dengan Garuda ke Aceh)

    BalasHapus
  7. mantap postingannya gan,maju terus gan,,
    thanks atas postingnya..

    BalasHapus
  8. @Mila Said

    Ya Elah...Mil...elu kan kapan hari sudah kesitu.

    BalasHapus
  9. promo POKER ONLINE deposit 10.000 bonus 50.000 buruan gabung di www.royalflush99.com

    BalasHapus
  10. astagaaa nemu foto hotel bumi adhitya, hotel yang sama dengan yang aku inapi duluuuu hahahaha
    nyari hotel ini malem malem astagaaa sampe hampir nyerah, ngelewati sawah gelap gelap, untung diantar bapak penjual nasi goreng yang orang jawa dan baik hati
    berkali kali ke lombok selalu gagal ke air terjun ini, next pengen disempetin mampir, biar bisa berendem yang seger seger

    BalasHapus