Amazing Race ala Gunung Jaribaru

Saya tiba kepagian di bandara Lombok Praya hari itu. Pesawat saya yang akan transit Bali menuju ke Makassar baru akan bertolak jam 9 pagi,  dan saya sudah tiba di bandara sebelum jam 7. Saya sudah tidak sabar untuk pulang kampung dan menghadiri pernikahan sepupu saya di kampung saya di Sidrap (sekitar 4 jam perjalanan darat dari Makassar). Saya menarik koper saya masuk ke bandara dengan sukacita. Namun, saya harus menelan kekecewaan saat saya tiba di check in counter. Bandara Praya ditutup hari itu akibat erupsi gunung Jaribaru, dua hari sebelumnya Bandara Ngurah Rai dan Selaparang juga sudah ditutup akibat erupsi gunung yang sama. Keluarga saya sudah mengeluarkan ultimatum bahwa saya harus hadir di pernikahan sepupu saya pada hari Sabtu di kampung halaman. Kalau tidak ada kenduri keluarga sih, saya tentunya dengan senang hati terperangkap di Lombok, saya bisa dengan mudah melipir ke Gili Nanggu hehehe. 
My travel buddies: Pak Djarot, Bu Balkis dan Bu Anna

Saya segera menelepon driver mobil yang disewa kantor, namanya pak Satria, yang tadi mengantar saya ke bandara. Saya meminta Pak Satria untuk menunggu saya karena saya akan mencari alternatif lain untuk bisa pulang kampung. Sambil menarik koper saya, saya berpapasan dengan Bu Balkis dan Bu Anna, kolega kantor yang juga datang ke Lombok untuk workshop yang saya hadiri. Mereka berdua juga harus segera meninggalkan Lombok, Bu Balkis harus ke Polandia hari Jumat malam sedangkan Bu Anna harus menghadiri kegiatan lain di Jakarta pada hari Jumat. Dengan ketidakpastian informasi penerbangan untuk keesokan harinya, kami memutuskan untuk segera meninggalkan Lombok demi misi kami masing-masing. 

Dari bandara, kami segera menuju ke Senggigi untuk menumpang speedboat menuju ke Bali. Untungnya pak Satria, driver kami, dapat dengan sigap mendapatkan tiket speedboat untuk kami. Travel buddy perjalanan kami bertambah satu yaitu Pak Djarot yang juga sudah harus berada di Jakarta pada hari Jumat. Pak Djarot akan bertemu kami di Senggigi. Kapal speedboat yang kami akan tumpangi rencananya akan meninggalkan Senggigi menuju Bali pada pukul 11 siang dan kami tiba di Senggigi pukul 10.15. Sambil menunggu keberangkatan, saya, Bu Anna, Bu Balkis dan Pak Djarot mendiskusikan rencana kami selanjutnya. Mengingat bahwa Bandara Ngurah Rai tutup, pilihan paling realistis adalah melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Dari Surabaya kami akan berpisah, saya akan ke Makassar dan teman teman lainnya ke Jakarta. 

Siap siap naik speedboat

Sebelum bertolak dari Senggigi, kami sudah sibuk mencari informasi rental mobil, travel dan bus yang bisa mengantar kami dari Bali ke Surabaya. Kami berhasil melakukan reservasi perjalanan Denpasar - Surabaya melalui sebuah travel agent. Perjalanan dari Denpasar ke Surabaya rencananya akan dimulai pukul 6 sore. Dengan jadwal tersebut, kami merasa kami punya cukup waktu beristirahat di Denpasar. Baterai hape kami sebelum meninggalkan Senggigi sudah di bawah 50% karena sibuk menelepon kesana kemari, dan perjalanan kami masih panjang. 

Sebelum bertolak dari Senggigi menuju ke Padangbai di Bali, Bu Balkis menerima telepon bahwa rekan Bu Balkis, bernama pak Hadi, juga akan menumpang speedboat menuju ke Padangbai di kapal berikutnya. Pak Hadi, yang pernah ditugaskan di Bali, akan dijemput oleh koleganya. Pak Hadi menawarkan tumpangan dari Padangbai menuju Gilimanuk, dari ujung timur Bali menuju ke ujung barat Bali. Tawaran yang menarik dan langsung kami iyakan. Kami segera membatalkan reservasi perjalanan kami dari Denpasar ke Surabaya, untung travel agent nya tidak ngamuk-ngamuk. Pukul 11 lewat sedikit, kami meninggalkan Senggigi. Bye bye Lombok..... can't thank you enough for your volcanic ashes. 
Welcome to Padangbai

Menurut penjual tiket speedboat-nya, kami bisa tiba di Padangbai (Bali) pukul 13.00, dengan dua persinggahan yakni di Gili Air dan Gili Trawangan. Ternyata pemirsah, kami tiba di Padangbai pukul 14.00 siang, dengan kondisi perut keroncongan dan pikiran melayang-layang karena masih memikirkan sisa perjalanan kami: nanti dari Ketapang-Banyuwangi kami akan naik apa dan kami akan memesan penerbangan jam berapa dari Surabaya. Kami belum berani memesan tiket pesawat dengan segala ketidakpastian di hadapan kami. 15 menit kemudian, speedboat yang ditumpangi pak Hadi tiba dengan selamat di Padangbai. Dan kami segera meninggalkan Padangbai menuju ke Gilimanuk melalui Denpasar. Kami baru saja berhemat 3 jam. Dengan  menerima tawaran tumpangan pak Hadi, kami berangkat ke Padangbai pukul 14.30 siang, sedangkan jika kami naik travel agent maka kami baru bisa bertolak dari Denpasar sekitar pukul 18.00 petang. 

Perjalanan kami ke Gilimanuk berjalan relatif lancar tanpa macet yang berarti. Kami menyempatkan mengisi ransum di Denpasar, sholat dan makan siang yang tertunda di Tabanan. Setelah mengisi perut dan menunaikan kewajiban, perjalanan sore menuju ke Gilimanuk dilanjutkan. Dengan semakin dekatnya kami ke Gilimanuk, kami semakin bisa memprediksi jam berapa kami akan tiba di Surabaya. Dengan estimasi penyeberangan ke Ketapang sejam dan perjalanan dari Ketapang ke Surabaya sekitar enam jam, kami merasa bahwa kami bisa mengejar pesawat pagi di Surabaya. Terima kasih pada teknologi, saya berhasil mendapatkan tiket Garuda dari Surabaya ke Makassar pukul 06.00 pagi, Bu Balkis dan Bu Anna mendapatkan pesawat Sriwijaya pukul 05.30 pagi, Pak Djarot dan Pak Hadi mendapatkan tiket yang lebih siang. Saatnya bernapas sedikit lagi sambil menikmati pemandangan senja yang disuguhkan pantai barat Bali dalam perjalanan kami menuju ke Gilimanuk. Menjelang petang, kami menerima kabar bahwa Bandara Ngurah Rai sudah mulai dibuka, namun kami tetap istiqamah menempuh perjalanan darat. Kami yakin bahwa kami belum tentu bisa mendapatkan tiket ke Jakarta/Makassar jika balik ke Ngurah Rai, pastinya maskapai lebih mengutamakan penumpang-penumpang yang pesawatnya dibatalkan atau yang berada dalam waiting list.  

Menjelang pukul 19.30, kami tiba di pelabuhan Gilimanuk. Kami disambut olen antrian mobil, truk dan bus yang menunggu giliran naik feri untuk menyeberang ke Gilimanuk. Saya sempat panik, wah bisa gawat nih kalau kami ngantri sepanjang ini, kapan nyebrangnya. Untungnya Pak Hadi yang memang pernah bertugas di Gilimanuk sangat hapal dengan wilayah ini dan kami segera diarahkan ke kantor pelabuhan. Setelah sempat berkenalan dengan kolega pak Hadi, kami naik ke kapal dan koper koper kami diantarkan oleh kolega pak Hadi ke kapal Feri. Serasa tamu VIP euy. 
Mejeng depan kantor pelabuhan lengkap dengan koper dan kresekan

the so-called Ferry

Kami bertolak ke Ketapang dari Gilimanuk pukul 20.00. Kapal Feri yang kami tumpangi tidak begitu penuh dengan penumpang. Menurut petugas pelabuhan sih, penyeberangan dari Gilimanuk ke Ketapang hanya akan memakan waktu sejam. Kami optimis kami akan tiba di Surabaya sebelum pukul 04.00 pagi, Bu Anna pun sudah memesan mobil carteran dari Ketapang ke Surabaya. Sebuah Kijang innova sudah menanti di ujung sana. Baterai hape saya sudah di bawah 20% saat kami masuk ke ketapang. Demi alasan penghematan, hape saya matikan.  
Welcome to Ketapang

Kami tiba di Ketapang pukul 21.40, lalu bergegas keluar dari pelabuhan untuk segera melanjutkan perjalanan. Sayangnya perjalanan kami ke Surabaya harus sedikit tertunda akibat miskomunikasi dengan pihak rental mobil. Kami yang meminta Innova dikasihnya mobilio, plus pak supir yang keukeuh ngajak anaknya ikut ke Surabaya. Jika kami tak membawa barang bawaan sih, kami bisa saja melanjutkan perjalanan dengan Mobilio tadi. Tapi kami berlima dan kami masing-masing memiliki koper kecil, rasanya Mobilio bukan pilihan yang tepat. Akhirnya kami harus menunggu sekitar 45 menit untuk mendapatkan sebuah mobil Pregio. Kami memutuskan tidak akan ikut Mobilio si Bapak karena dia toh juga nampaknya gak ikhlas mengangkut kami yang jumlahnya banyak dan koper menumpuk di Mobilio barunya. Semoga murah rejeki yah Pak. 

Kami mulai panik mengingat sempitnya waktu yang kami miliki untuk tiba di bandara Juanda. Pak Hadi nampak masih tenang. Dia cuma bersabda "Pak, terserah bapak mau berangkat jam berapa, pokoknya jam 4 subuh kami sudah harus sampai di Juanda," yang disambut dengan senyum kecut oleh pak supir baru kami. Perjalanan pun dimulai. Saya memilih kursi paling belakang dan mulai selonjoran. Saya berusaha memejamkan mata di tengah kegelisahan apakah kami bisa sampai di Surabaya tepat waktu. Sambil memejamkan mata, saya merasakan pak Supir mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh dan mengendara laiknya supir kesetanan. Terserahlah, yang penting kami tiba tepat waktu. 

Sedang asyik asyiknya tidur, Pregio yang kami tumpangi tiba tiba melambat dan berhenti total. Saya terbangun dan mendapati antrian panjang mobil di depan kami. Macet panjang ini terjadi di ruas jalan Situbondo. Pak Supir yang tahu kami dikejar waktu, segera berinisiatif mengambil jalur sebelah yang seharusnya untuk kendaraan dari arah berlawanan. Kami melewati antrian mobil sepanjang 4 km dan menemukan perbaikan jalan di ujung kemacetan. Perbaikan jalan yang menyebabkan satu ruas jalan ditutup dan hanya menyisakan satu ruas jalan untuk dilalui kendaraan dari dua arah yang berlawanan. Saya kembali melanjutkan tidur. 

Pukul 03.30 subuh saya terbangun saat mobil kami melintasi Probolinggo. Saya sudah terjaga di sisa perjalanan karena kami hanya punya waktu sejam untuk tiba di terminal Juanda. Pak Supir makin ngebut menyadari sisa sejam yang ia miliki. Tak ada kemacetan lagi yang kami temukan dalam perjalanan ke Juanda. Mengingat hanya saya yang menggunakan Garuda (ditabok pembaca) dan jadwal saya flight saya pukul 06.00, maka Pregio kami arahkan ke Terminal 1 terlebih dahulu untuk menurunkan pak Djarot, Pak Hadi, serta Bu Anna dan Bu Balkis yang pesawatnya pukul 05.30. Syukurlah, mobil yang kami tumpangi tiba dengan selamat di Terminal 1 Juanda pukul 04.30. Masih ada waktu untuk Bu Balkis dan Bu Anna untuk sholat dan check in. Setelah berpamitan dengan keempat travel buddies saya ini, saya segera bergegas ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke Terminal 2 (sebagai penumpang Garuda, cieeeeh). Lagi lagi masalah muncul, Pregio yang saya tumpangi ngadat dan tidak bisa di starter. Setelah percobaan mendorong mobil tiga kali gagal, dengan sangat menyesal saya meninggalkan pak Supir dan segera mencari taksi menuju ke terminal 2. 
Juanda at last, We made it :D 

The aircraft to Surabaya

Saya tiba di Terminal 2 pukul 05.10 dengan rambut tak beraturan, wajah berminyak, bau badan yang.... ah sudahlah gak usah ditanyakan lagi. Saya segera check in, sholat, sikat gigi dan menge-charge iphone saya yang sudah sekarat. Saat boarding ke pesawatpun, saya segera ke toilet pesawat untuk menggunakan parfum yang disediakan dalam toilet. Setelah itu, I feel that I regain my confidence after saying bye bye to body odour hahahahaha. 

Perjalanan ke Makassar berjalan lancar dan langsung dijemput oleh Paman dan sepupu untuk selanjutnya bertolak ke Sidrap. Saya tiba dengan selamat di Sidrap pada hari Jumat pukul 13.00, yang berarti bahwa saya baru saja melakukan perjalanan menggunakan mobil, feri, speedboat dan pesawat selama 30 jam. Hal ini juga berarti bahwa saya baru mandi lagi setelah 30 jam, rekor yang fantastis. Udah bisa ikut Amazing Race kan? hahahaha     

Salah satu alasan buat ke Sidrap, kangen ponakan

Cousin's wedding that I am obliged to attend

9 komentar
  1. bwahahahaha,,, bacanya kebawa ikut kejar2an bang

    BalasHapus
  2. foto padangbai itu lho... airnya jernih banget.. dr jauh keliatan rumput lautnyaaaa.. asyatagya

    BalasHapus
  3. Astagaa syerruhh sekaliiihhhh...epik deh, badan pasti rasanya encok kayak digebukin yaaa

    BalasHapus
  4. Ka Cipu jalan2 terus nih..btw blog ku berubah nama yah jadi catatananjani.blogspot.com :D

    Salam Blogger

    BalasHapus
  5. Bacanya terbawa esmosi, ikutan deg deg an.
    BTW gag bawa powerbank kah untuk si hempon s? :p

    Oiya thanks to technology itu pake traveloka atau trivago atau yg lainnya?

    Kalo batre udah tiris gitu biasanya saya pake flight mode, jd hpnya unt standby aja. Soalnya katanya katanya matiin idupin lebih makan batre. Katanya loh yaaa

    Alhamdulillah sampe juga di nikahan sepupu ya. Aku liat tuh poto 2 nya kemaren di fb. Cakeppp ungu2

    BalasHapus
  6. Gileee bacanya aja udah ikut ngos-ngosan aku, wuahaha perjalanan pulang yang memorable banget ya. Untung ketemu rekan sejawat dan pak Hadi! Pas kondisi kepepet kayak gitu emang biasanya bakalan banyak pertolongan, walau kudu spot jantung juga. Hihihi...

    Happy wedding to your cousin ya mas Cipu! Seruuu keluarganya kompak semua euy!

    BalasHapus
  7. perjalanannya jadi mengesankan... emang kalau udah alam yang berkehendak, kita sendiri yang jadi kreatif :D

    BalasHapus