Tentang Marathon (yang Tertunda)

Olahraga lari memang sedang tren di Indonesia belakangan ini. Perhelatan event lari malah hampir selalu ada tiap minggu di seantero negeri ini. Event lari yang berentetan menjadi magnet bagi para pelari untuk menjajal lintasan yang ditawarkan atau sekadar menambah koleksi medali finisher. 

Biasanya teman-teman yang hobi lari mulai ikut race yang 5K dulu. Setelah wisuda lari 5K (dan punya medalinya), biasanya pelari mulai cari jarak yang lebih jauh. Event lari 10K mulai dijajal. Setelah wisuda dengan tambahan koleksi medali 10K, kita mulai tergoda untuk wisuda half-marathon. Persiapan yang diperlukan pun biasanya lebih intensif. Saat seorang pelari telah berhasil wisuda Half Marathon (21 km), biasanya godaan untuk menyelesaikan Full Marathon (42 km) akan selalu ada.

Menyelesaikan Full Marathon atau FM memang menjadi target pencapaian banyak pelari. Bahkan beberapa teman sudah mencoba beberapa world major marathon, mulai dari Tokyo, Berlin, Boston, London, Chicago dan New York Marathon. Ada pula rekan lari yang penasaran menjajal marathon bertema temple (Borobudur Marathon di Indonesia, Bagan Marathon di Myanmar dan Angkor Wat Marathon di Kamboja), seru kan?. Belum lagi teman yang mencoba merasakan atmosfer berlari marathon di negara yang terkenal tertutup untuk pendatang, yaitu Korea Utara dengan ikut Pyongyang Marathon. Kebayang dong ngeri ngeri sedapnya.

Mungkin teman-teman yang tidak hobby lari masih belum mengerti, kenapa orang jauh-jauh datang ke sebuah negara, bela-belain hanya karena mau lari marathon dan dapat medali. Itukan buang-buang duit, medalinya pun sulit diuangkan. Jawaban saya: kalian akan susah dapat jawabannya kalau tidak jadi pelari race terlebih dahulu. Merasakan garis finish sebuah event lari, apalagi setelah lari 42 km, bagai musafir menemukan segalon air minum Club di padang pasir (Maaf, ini bukan pesan sponsor). 

Saya sendiri getol ikut race di tahun 2015. Perjalanan race lari saya juga boleh dibilang cukup baik. Mulai race untuk jarak 10 km hingga wisuda half marathon di beberapa event lari. Maklumlah saat itu, saya belum menikah. Budget ikut race selalu disisihkan saat gajian. Untungnya sih, calon istri dukung-dukung saja saya ikut race. Daripada saya ikut koleksi motor Harley Davidson yang jelas jelas saya gak sanggup. 

Sebagai manusia biasa dan finisher beberapa event half marathon, saya tentu punya hasrat untuk wisuda di full marathon. Saya merasa tertantang untuk bisa menaklukkan marathon. Pendaftaran marathon pertama saya adalah Jakarta Marathon (JakMar) 2015. Waktu itu pertimbangannya sederhana, daripada harus bayar tiket pesawat dan penginapan buat marathon, kenapa gak coba di Jakarta saja. Pendaftaran saya pun terbilang mepet, sekitar 6 minggu sebelum event. Itu juga karena terprovokasi ajakan teman teman di whatsapp grup lari hahahaah. Kenapa mepet? Gila aja lu, daftar marathon 6 minggu sebelum hari H. Bachelor marathon pulak (alias bujangan marathon atawa belum pernah terjamah full marathon). Kalau dari sejumlah referensi yang saya baca, persiapan marathon itu minimal 3 bulan, latihannya pun cukup berat dan perlu kedisiplinan tingkat tinggi agar bisa menyelesaikan marathon.  Dengan sisa waktu 6 minggu modal saya hanyalah nekad dan merutinkan kegiatan lari. 

4 minggu sebelum perhelatan Jakmar 2015, saya ikut trail run (semacam lari lintas alam) di kawasan Gunung Gede. Ini adalah trail pertama yang saya ikuti. Meski jarak trail run yang saya ikuti (cuma) 14 km, banyaknya jalur yang curam menjadi tantangan tersendiri. Mungkin saya memang tak berjodoh dengan race model trail run, kaki saya dua kali kecengklek (keseleo) saat ikut event ini. Saya akhirnya berhasil finish di event ini dengan kaki kiri yang lebih gede dari kaki kanan saya. Pergelangan kaki saya bengkak karena keseleo. 

Niatnya trail run malah ngesot run. 

Setelah melihat kondisi kaki saya, beberapa teman menyarankan agar saya membatalkan full marathon jakmar saya. Kurang persiapan ditambah cedera kaki nampaknya bukan kombinasi yang baik untuk menuntaskan bachelor marathon saya. Dengan berat hati saya membatalkan ikut full marathon, dan mendowngrade pilihan saya ke half marathon (lagi) di Jakmar 2015. Full marathon itu memang cita cita banyak pelari, tapi cita-cita  yang lebih utama adalah untuk bisa tetap lari sampai tua (tssaaahhh). Jangan sampai gara-gara nafsu dapat medali full marathon, malah ngefek ke cedera yang makin parah, ujung-ujungnya divonis ga boleh lari lagi. 

Di tahun 2016, saya mencoba daftar marathon lagi, kali ini saya daftar Borobudur Marathon. Alasannya sederhana: lari di sekitar Candi Borobudur terdengar eksotis dan layak masuk to-do-checklist dalam hidup saya hahahaah. Sungguh alasan yang tak penting. Saat itu, saya sudah menikah, istri lagi hamil 5 bulan. Frekuensi lari saya juga sudah mulai berkurang karena menikmati status baru sebagai suami siaga. Ternyata kakak saya juga ikut daftar half marathon di event Borobudur Marathon. Klop lah, saya jadi ada teman ke Yogya. 
Bersama kakak, sedarah tapi beda komunitas lari

Seminggu sebelum perhelatan Borobudur Marathon, saya ikut sebuah event lari lagi yaitu Jakarta Ultra 100 km, event lari 100 km menjelajahi kawasan Jakarta Timur, Selatan, Barat dan Utara. Saya ikut tim relay 4 x 25 km, sebagai pelari kedua dan mendapatkan jatah Jakarta Selatan  yaitu jalur FX - Pondok Indah pulang pergi dengan total jarak 25 km. Saya sangat excited bisa ikut andil di event ini. Saya ditunjuk sebagai pelari kedua dari total empat pelari. Sebagai pelari kedua saya harus menunggu pelari pertama selesai dulu untuk bisa melanjutkan misi sebaagi pelari kedua. Saya mulai berlari pukul 10 malam dari FX dan sangat menikmati jalur lari saya yang membelah Jakarta Selatan menuju Pondok Indah. Tiba di pondok Indah, jam tangan saya menunjukkan jarak hampir 13 km (half way to go). Di paruh akhir lari saya dari Pondok Indah kembali ke FX, masalah mulai timbul. Kala itu, lutut saya protes. Rasanya sakit saat dibawa lari dan saya terpaksa menyelesaikan sisa sisa kilometer saya dengan berjalan tertatih. This is not how I picture myself in a race. Latihan emang ga bisa bohong. Badan saya protes karena latihan saya sangat kurang menjelang event.

Tadinya, saya pikir ikut Jakarta Ultra dengan mengambil jarak 25 km bisa menjadi pemanasan bagi saya menuju 42 km di Borobudur Marathon. Cedera lutut dan jarak kedua event ini yang hanya berselang seminggu ini, membuat saya terpaksa membatalkan lagi ikut Borobudur Marathon. Namun ternyata ada hikmahnya juga saya ga jadi ikut Borobudur Marathon saat itu, dengar-dengar eventnya mendapat banyak kritik dari peserta karena kurang siapnya panitia. 

Begitulah cerita gagalnya saya ikut full marathon. Latihan, strategi dan disiplin adalah “koentji” menuju Marathon yang adil dan sejahtera hahaha. Dan itu yang belum saya terapkan selama ini. Intinya, Marathon itu bukan proses instan. Dibalik foto-foto teman yang tersenyum bahagia di garis finish event Marathon, tersimpan latihan yang brutal, peluh yang tak berujung dan 

Apakah saya kapok daftar full marathon? Jawabnya Tidak. Asa untuk bisa menyelesaikan full marathon itu selalu ada. Cuma mungkin memang waktunya belum sekarang. 
Siapa tahu nanti marathon pertama saya malah di Berlin atau di Tokyo, iya kan? Diaminkan yah
4 komentar
  1. Saya yang hanya jogging menempuh jarak sekitar 6 km aja sudah ngos-ngosan napasnya. Kalo untuk saya umur memang gak bisa dibohongi, hehehe...
    Semoga Cipu berjaya mengikuti FM suatu saat, aamiin ya rabbalalamin.

    salam,
    Alris

    BalasHapus
  2. Gak berasa ya udah 3 taun lalu rutin ikutan.. Blom rezeki ikutan HM Kakakkk..hahaha.. Bener jg..Malah dulu awal2 ngikutin postingnmu lari. Timbul pertanyaan. Apa sih enaknya? Eeh skrng Nhae malah baru mau ikutan..hahaha..telaaat yeee..wkwk

    BalasHapus
  3. gimana sih mba biar ngga males olahraga? saya pgn bgt ikut Hash atau event lari2 gitu sbnrnya.. tapi gatau mulainya gmn... hehe

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah akhirnya di-updated juga.

    Apa kabar karaeng?

    BalasHapus