Dorm mate/housemate for a lazy student like me (Part 2)

Kali ini cerita saya bukan tentang traveling, tapi sedikit flash back ke masa-masa kuliah di Melbourne. Adalah saya, mahasiswa asal Indonesia yang tidak memiliki skill memasak namun memiliki skill menghabiskan makanan tingkat dewa. Adalah saya, mahasiswa yang hanya punya skill bikin telur dadar dan masak mie instan. Tinggal di Melbourne sudah lama saya impikan, namun kota yang katanya the most livable city in the world ini toh tidak benar-benar sempurna, dari kacamata mahasiswa enggan masak seperti saya. Melbourne tidak memiliki five feet meatball soup seller (pedagang bakso kaki lima), tidak ada penjual gorengan pinggir jalan, kalaupun ada jajanan biasanya tidak sesuai kantong atau tidak sesuai dengan indra pengecap saya.

Rumah kecil kami di Jones Street
Siksaan dimulai di hari pertama saya di Melbourne. Makanan pertama yang saya cicipi adalah..... ah sudah bisa ditebak.... Mie Instan. Makan malam pertama saya di Melbourne adalah satu slice pizza pinggir jalan seharga 7 AUD (sekitar Rp 70.000) yang sangat tidak menggugah selera. Hari pertama yang kurang menyenangkan, belum lagi dinginnya Melbourne yang menusuk hingga ke sumsum iga konro bakar hahahaha. 

Minggu pertama, saya akhirnya mendapat housemate bernama Santo. Mahasiswa asal Medan yang juga ikut mengambil Master di Melbourne. Awalnya, saya senang punya housemate karena saya berharap Santo bisa masak. Jadi, aturan "you cook, I wash the dishes" bisa mulai saya terapkan. Ternyata harapan saya tak menjadi kenyataan. Baik Saya dan Santo sama-sama memiliki kemampuan di bawah amatir dalam dunia masak-memasak.  



Our first attempt cooking ; Ki-Ka: Bakso Kuah Oranye Yang Pedas Tak Terkira dan Mr. Smile Menu
Beberapa kali kami memasak dan menghasilkan menu-menu ajaib. Di minggu pertama, saya dan Santo berhasil menciptakan Bakso Kuah Oranye, Mr. Smile Menu yang berisi fish cake goreng dan half round omelet (baca: telur dadar setengah lingkaran) dan greasy fried rice (baca: nasi goreng berlumur minyak jelantah). Pengalaman memasak ini membuat saya makin yakin bahwa memasak memang bukan panggilan hati saya. I quit cooking, dan saya mulai menyetok mie instan dalam jumlah besar dengan variasi rasa yang bermacam-macam, mulai dari yang rasa kaldu ayam hingga coto Makassar. Untunglah toko Asia tersebar di seantero Melbourne. 

Berbeda dengan saya, Santo sepertinya merasa tertantang dengan kegagalan-kegagalan memasak kami sebelumnya. Berbekal resep-resep online di internet, Santo mulai memasak. Sebulan berlalu, usahanya memasak mulai terlihat. Dimulai dari pasta, spagheti dan gnocchi yang sederhana, hingga makanan tradisional Indonesia seperti bistik Jawa. Bistik Jawa buatan Santo murni hasil racikan sendiri dan tidak memakai bumbu instan. Dalam hal rasapun, masakan Santo tak kalah dengan makanan yang saya beli di luar. Saya makin jarang beli makan malam di luar, dan makin sering cuci piring, karena Santo masak. Fungsi saya di dapur pun semakin disesuaikan dengan kemampuan saya. Saya tidak lagi menjadi co-chef, tetapi disesuaikan (baca: diturunkan) menjadi chef assistant (baca: potong potong daging dan kupas-kupas bawang) merangkap kitchen hand (baca: cuci piring di tengah suhu kejam Melbourne yang airnya dingin tidak terkira). 

Beberapa masakan Chef Santo yang selesai dalam sekejap (Searah jarum jam: Brokoli Chicken Teriyaki, Mie Jawa, Bihun Kuah, Stirred Tofu dan Shrimp Chicken Noodle)
Bulan-bulan berikutnya, makanan di meja makin bervariasi. Tidak hanya memasak lauk, Santo mulai merambah ke tiramisu, dan kue kue basah lainnya. Saya mencoba mengikuti jejak Santo, dan akhirnya saya berhasil membuat sup ayam yang edible. (Dibutuhkan waktu lebih dari sejam untuk menyelesaikan sup ayam sederhana ini, sementara Santo gak pernah memasak lebih dari sejam).  Berbekal resep makanan Italia, saya juga sempat berhasil membuat Alfredo Fettucini. Tapi keberhasilan ini juga belum bisa dibanggakan, membuat makanan ini sama saja dengan bikin mie instan. Tinggal rebus fettuchini nya, dan masukkan mas Alfredo ke dalam panci. Voila, jadilah Alfredo Fettuchini. Jangan lupa taburkan bubuk keju diatasnya. No brainer.... 

Cipu's attempt to produce edible food (Searah jarum jam: Selfie -sebagai bukti bahwa saya tahu menyalakan kompor dan bisa memasak sup ayam, Alfredo Fettuchini yang terkenal itu, Chicken Shnitzel yang tinggal di deep fry, Mie Instan -pemadam kelaparan dalam kondisi kepepet/malas masak)
Peraturan "You Cook, I wash the dish" lagi-lagi berhasil sebagai senjata negosiasi ampuh dengan housemate yang jago masak. Simbiosis ini sangat menguntungkan, Santo bisa menyalurkan bakatnya tanpa perlu mengkhawatirkan piring-piring dan panci kotor, Saya bisa makan enak dengan berbekal cuci piring dan membantu Santo motong-motong sayuran atau daging. As simple as that

Sayangnya Santo cuma setahun di Melbourne, sedangkan Saya masih harus melanjutkan studi setahun lagi. Santo akhirnya balik ke Indonesia tidak hanya dengan gelar Master. Oleh teman-teman yang sering mampir ke rumah, Santo juga mendapat julukan kehormatan "Chef". We call him Chef Santo.

Saya ketar-ketir juga, apakah saya harus kembali ke menu mie instan setelah Santo balik ke Indonesia. Jawabannya, tunggu di postingan selanjutnya hehehe.

Untuk membaca curhat saya sebelumnya dengan judul yang sama, Silahkan klik link ini.
6 komentar
  1. kak... ke aussie yuk!
    mau tongka kurasa,.. hahha

    BalasHapus
  2. terima kasih atas informasinya kak..

    BalasHapus
  3. haha.. kayanya sekarang udah handal masak niih

    BalasHapus
  4. kayaknya si Santo balik ke Medan dia buka rumah makan, hihihihi..

    itulah enaknya jadi cewek, bisa survive dimana pun. mau harga makanan di luar, kami bisa masak2. hihihi..

    BalasHapus
  5. Sama-sama untung, skill memasak Santo bertambah baik, dan skill cuci piring mas Cipu juga. Piring hasil cucian mas Cipu pasti licin banget dan berkilat karena terlatih banget pastinya.... :-D

    BalasHapus