Balada Toilet Gurun

Menjelang sore, konvoi mobil kami melewati Mohammed bin Rashid Al Maktoum Solar Park, sebuah kawasan pembangkit bertenaga surya terbesar di dunia yang terletak di daerah Saih Al-Dahal, sekitar 50 km di selatan kota Dubai. Di Saih-Al Dahal konvoi mobil menepi sejenak, sepertinya untuk mempersiapkan kendaraan yang kami gunakan untuk menuju ke destinasi selanjutnya. Saya bersama beberapa kolega turun dari mobil, untuk berkumpul bersama kolega-kolega dari mobil lain. Saih Al-Dahal tak begitu panas sore itu, malah anginnya terasa sejuk, berkah tersendiri saat berkunjung ke Jazirah Arab di bulan Februari. Kunjungan saya ke Dubai adalah untuk menghadiri sebuah kegiatan kantor, yang ternyata isi kegiatannya adalah setengah serius (presentasi dan diskusi dari pagi hingga siang), dan setengah santai (jalan-jalan dan makan-makan dari siang hingga tengah malam). 

Enroute to sand dune
Unta gurun

Setelah menyelesaikan makan siang di hari itu, konvoi mobil dari hotel tempat kami menginap di Dubai mulai beriringan menuju ke lokasi pacuan unta. Sayangnya, kondisi pacuan sangat sepi saat kami tiba. Hari itu, memang tak  ada kegiatan pacuan. Kami beruntung saat beberapa ekor unta lewat dengan anggunnya diiringi sorak kegirangan dari kami yang menonton dari atas tribun. Setelah itu, konvoi mobil mengarah ke Saih Al-Dahal di selatan Dubai. Saat mampir di kawasan Saih Al-Dahal, saya melihat para pengemudi mobil konvoi kami seperti sedang mengeluarkan angin dari mobil. Saat saya bertanya kenapa anginnya dikeluarkan, mereka menjawab bahwa tekanan angin di mobil sebaiknya diturunkan dibawah 20 psi untuk memudahkan ban dalam mengarungi jalur pasir di gurun. Saya manggut-manggut mencoba mengerti. 

Pukul lima sore, rombongan konvoi kami mulai menjelajah gurun, mendaki dan menuruni bukit pasir yang tak berujung. Sesekali kami berteriak kegirangan saat mobil yang kami tumpangi melakukan manuver tajam atau saat menuruni bukit pasir yang curam. Ini sebenarnya ekspresi girang campur cemas, kalau boleh jujur. Meski senang karena ini pengalaman pertama berkendara di gurun, ada sedikit was-was juga kalau mobil tergelincir. Syukurnya kekhawatiran tadi tidak terjadi, para pengemudi  sangat cekatan dalam memegang kendali kendaraan. Kami sempat berhenti di tengah gurun untuk berfoto bersama sebelum petualangan dilanjutkan. 

Ngaso sejenak

Menjelang pukul 6 sore, kami akhirnya tiba di sebuah dataran gurun dengan penampakan sebuah tenda badui, berhalaman meja panjang yang disusun dengan kursi berhadap-hadapan. Sepertinya, kita akan dijamu makan malam di tengah gurun. Saya tentunya senang, saya belum pernah merasakan atmosfer makan malam di gurun, apalagi ini nampaknya menunya cukup mewah. Saat langit sore makin oranye, rombongan kami berpencar dan mengelompok, ada beberapa yang mencoba berselancar pasir di permukaan lereng di gurun, ada yang duduk mengheningkan cipta menikmati kehampaan yang terbentang depan mata, ada juga yang asyik berfoto dengan berbagai pose untuk persiapan posting di sosmed. Saya adalah jenis yang terakhir, sibuk berfoto untuk pencitraan dan pamer di sosmed hahaha.  

Tenda Badui dan meja makan

Salah satu foto yang belum ada caption



Gelap mulai menyelimuti gurun. Lampu di tenda badui dan meja makan juga mulai menyala. Suhu gurun di malam bulan Februari juga mulai turun. Kami yang tadinya berkaos oblong mulai mengenakan jaket sembari mendekatkan diri ke api unggun yang berada tak jauh dari tenda. Api unggun menjadi tempat berkumpul yang menyenangkan di tengah malam yang suhunya kian menggigit. Tak jarang tawa berderai terdengar saat salah satu dari kami berbagi pengalaman lucu atau  ada yang mengeluarkan joke joke garing. Minuman sudah disajikan dari sejak kami tiba, saya memilih juice dan terkadang air putih untuk menghindari dehidrasi karena aktifnya saya dan beberapa teman mencari spot foto yang ajib. 

Tak berapa lama, kami mulai duduk di kursi masing-masing karena hidangan makan malam mulai disajikan. Menu entree langsung kami lahap dengan cepat karena sudah kelaparan plus kedinginan. Main course mulai dihidangkan setelahnya, saya memesan stik sapi dan terhidang dengan lezat. Makanan hangat saat kedinginan memang tiada dua, badan sedikit terasa hangat seiring suapan makanan kami malam itu. Namun, alam tak menyerah, angin yang berhembus menambah suasana dingin saat kami masih bersantap. Menu terakhir adalah hidangan penutup, saya menyebutnya "let's have dessert in the desert" yang disambut tawa beberapa kolega yang duduk di sekitar meja saya. Kapan lagi bisa menikmati hidangan penutup (dessert) di gurun (desert), ya kan?

Dinner time

Setelah selesai menikmati makanan full course, perut kenyang tapi badan masih kedinginan. Kami kembali mengerumuni api unggun demi mendapatkan kehangatan. Kami tak langsung pulang setelah acara makan malam selesai, mungkin maksudnya biar kami membina keakraban dan bercakap dengan kolega dari negara lain. Saya yang dari sore rajin menenggak jus, ditambah suasana malam gelap yang dingin, tiba-tiba kebelet ingin buang air kecil. Saya segera menghampiri tenda Badui dan mencari toilet di bagian belakangnya. Kru yang menyambut kami mengatakan bahwa tidak ada toilet portabel di gurun. Saat saya bertanya, "so where should I go if I wanna pee?",  dengan enteng sang Kru menjawab, "Just find any place you feel comfortable to pee in this desert". Artinya, silahkan pipis dimanapun di hamparan gurun maha luas ini. Saran yang sama diaminkan teman Thailand saya, dia malah bilang "Look, man, this desert is so big, you can pick any place as your toilet as you want". Teman Thailand ini rupanya baru saja selesai menuntaskan hasrat buang air kecilnya tidak jauh dari tenda tempat kami makan malam. 




Saya pelan-pelan menjauh dari tenda dan meja makan yang bergelimang cahaya, mencari sudut gurun yang gelap dan tak terjamah cahaya untuk selanjutnya menunaikan hasrat pingin pipis saya yang sudah lama terpendam. Berbekal botol air di tangan, proses penyelesaian hajat saya selesai dengan tuntas dan penuh rasa aman. Terima kasih pada gelapnya malam di gurun.  

Saya kembali berkumpul dengan teman-teman saat pertunjukan obor dimulai. Seorang pemuda tiba-tiba muncul di tengah kami sambil memainkan beberapa obor dan menunjukkan kepiawaiannya menciptakan imaji cahaya dalam gelapnya malam di gurun. Saat itu, tiba-tiba seorang kolega cewek dari Indonesia bertanya ke saya "Mas, kalau kebelet pipis, toiletnya ada dimana?".  Saya jawab "Disini gak ada toilet, langsung cari tempat sepi saja di gurun untuk pipis". Temen saya ini mau protes kok gak ada toilet, tapi apa daya toiletnya memang gak ada. "Baiklah, saya akan tahan saja sampai kita balik ke hotel", katanya dengan determinasi yang kuat. 

Ternyata, dinginnya malam membuat hasrat untuk buang air kecil makin tak tertahan, teman saya ini akhirnya harus mengalah, ia berjalan mencari sudut sepi nan gelap di gurun untuk menuntaskan apa yang harus dituntaskan. Sekembalinya dari gurun yang gelap, dia nampak lega tapi tetap kelihatan tak terima, "Ini pertama kalinya saya mengalami ini, dan akan saya pertimbangkan kalau ada ajakan ke gurun lagi". Saya ngakak, meski gak tahu lucunya dimana. 

Mendekati pukul 10 malam, kami sudah berada di mobil masing-masing, beriringan menuju Dubai. Di pinggir gurun sebelum masuk ke peradaban, ban mobil yang tadinya dikempeskan, diisi kembali  agar kendaraan bisa kembali mengaspal. Lagu "Kuch Kuch Hota Hai" melantun cukup kencang menemani kami memasuki kota Dubai yang diputar pengendara kami yang memang asli India. Sebelum tertidur di mobil, saya tersenyum sendiri saat membayangkan pengalaman kebelet saya dan teman saya hari itu. Well, we mark our territory in Dubai hahaha.    
8 komentar
  1. Hahahahahahahaha aku JD inget cerita temenku yg traveling ke Mongolia. Dan pas sampai di Padang rumput yg luuuuuaaaaaaaas banget, ketika mau buang hajat, ya harus gali tanah, trus pup dan pee di lubang, timbun lagi šŸ¤£šŸ¤£šŸ¤£šŸ¤£šŸ¤£

    Tahun depan aku plan ke Mongolia, JD udh niat ntr ga mau banyak minum ,atau ya kuatir nyali buat pup dan pee di Padang rumput šŸ˜‚

    Di Padang pasir ya sami mawon yaa. Antara pake botol atau gali pasir šŸ˜„?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Fanny jangan lupa cerita pengalaman seru di Mongolia nya nanti ya mbak, terkhusus pengalaman cari toilet yang pasti berkesan

      Hapus
  2. Kenapa aku baca ini ingatnya scene di film animasi Up yaa. Kan disitu si Russel nanya ke kakek "Am I supposed to dig the hole before or after??" šŸ¤£šŸ¤£ mungkin karena efek baca komenan Mba Fanny di atas.. hahah

    Seruu Mas.. ribet banget emng kalau nggak ada tempat buat peep gtu tuh. Soalnya kadang semisal kita terlalu concern soal peep yang mesti gimana. Malah jadinya kepengen Peep.. wkwk šŸ˜„ Kaya di bioskop juga kan kadang aku suka concern soal kalau kebelet pas lagi seru2nya nonton gimana yaakk...

    Dan bener aja malah kebelet peep sangking terus dipikirin..

    Btw, itu pertunjukan obornya keureeuunnn...

    BalasHapus
  3. The biggest toilet ever šŸ˜‚šŸ˜‚
    puncak komedinya adalah ketika seorang perempuan ingin peep wkwk.

    meski gurun pasir yang tampak tak berujung, kayaknya jadi daya tersendiri, vibes nya cakep, warm.

    BalasHapus
  4. wah sayang banget ya
    tidak ada pacuan unta
    itu apakah debu-debu tidak mengganggu saat makan?
    Wah tuntaskan yang perlu dituntaskan
    jika saya yang ke sana bisa beberapa kali nih haha

    BalasHapus
  5. bener yang dibilang sama temen Thailandnya mas, dan itu bener-bener bikin ngakak juga wkwkwk

    BalasHapus
  6. Makan di gurun itu apa tidak ada pasir yang berterbangan?

    BalasHapus
  7. Wah naik jip ini saya pernah ngalamin, cuman beda nya bukan di gurun, tapi offroad di gunung mas.. Seneng campur ngeriii wwkk... Soal pipis emang susah juga ya kalo gak ada toilet , apalagi kaum hawa pan kudu banyak aer hehe

    BalasHapus