Jejak Perahu di Panrang Luhu

Bulukumba sudah lama dikenal akan wisata baharinya. Salah satu yang paling banyak dikunjungi tentunya Tanjung Bira yang masyhur. Tak salah memang jika nama Tanjung Bira kian terkenal,  lokasi ini menawarkan barisan pantai berpasir putih nan elok serta panorama pantai Sulawesi yang memanjakan mata. Sayangnya sebagai warga Sulawesi Selatan, saya belum berkesempatan mengunjungi Tanjung Bira di Bulukumba, dan malah seringnya mendengar keindahan tempat ini dari teman-teman yang habis berkunjung ke sana. 

Tanjung Bira for First Timer 

Kesempatan mengunjungi Tanjung Bira itu akhirnya tiba, saat kami mudik bulan April kemarin. Kebetulan, saya dan istri berhasil mengantongi cuti yang cukup panjang, jadilah kami memiliki cukup banyak waktu untuk mengeksplorasi Sulawesi Selatan. Seminggu sebelum lebaran, saya akhirnya berkesempatan mengunjungi Bulukumba dalam rangka mengunjungi adik ipar yang bermukim di sana. Meski cuma sehari, saya dan keluarga berkesempatan melipir ke Tanjung Bira untuk setidaknya mengetahui rupa tempat yang banyak diperbincangkan ini. Tanjung Bira memang dianugerahi dengan pantai-pantai pasir putih menawan serta sejumlah tebing dengan panorama pantai yang, serta dilengkapi dengan fasilitas tangga untuk memudahkan pengunjung menuruni tebing menuju ke pantai, atau sekadar berswafoto dengan latar belakang laut dan kisah cinta kandas di masa lampau (lah). 

Mengelilingi kawasan Tanjung Bira, saya menyadari bahwa keindahan tempat ini juga telah perlahan mengubah lansekap Bira dengan semakin maraknya penginapan, rumah makan dan hotel. Sebagai lokasi tujuan wisata, tempat ini tentunya tak melulu ramai, terlebih dengan adanya pandemi dua tahun terakhir ini. Tanjung Bira tak ramai saat saya berkunjung, ya iyalah, siapa juga yang mau berwisata ke pantai di penghujung Ramadhan, waktu yang katanya seharusnya kita beri'tiqaf di mesjid. 
Perairan toska di Tanjung Bira


Mungkin rombongan kami termasuk yang sedikit unik karena berkunjung ke Tanjung Bira saat sedang sepi-sepinya. Deretan penginapan yang makin sesak di Tanjung Bira membuat saya berpikir, seramai apakah tempat ini nantinya setelah lebaran. Lebaran tahun ini adalah momen keluarga pertama pasca pandemi yang pastinya diikuti dengan rencana banyak keluarga untuk mengunjungi berbagai tempat wisata, tak terkecuali ke Tanjung Bira. Agar bisa menikmati tempat ini, timing atau waktu kunjungan adalah koentji. Mengunjungi Tanjung Bira pasca Lebaran sepertinya big NO NO.




Sekembali dari Tanjung Bira menuju ke Makassar, saya masih mencari tempat wisata yang memiliki suasana pantai namun tak begitu ramai untuk bisa berkumpul keluarga. 

Melipir ke Panrang Luhu 

Tahun ini saya berlebaran di kampung saya di Sidrap, yang berjarak sekitar 200 km di sebelah utara Makassar. Bagi kalian yang sudah pernah melakukan perjalanan dari Makassar ke Toraja, kalian pasti melewati kampung saya, cuma mungkin kalian sedang tertidur di bus saat melewatinya. Maklum, bus ke Toraja umumnya adalah bus malam. 

Selepas lebaran, saya masih menghabiskan waktu beberapa hari di Sidrap bersama keluarga. Dari adik ipar saya di Bulukumba, saya beroleh kabar bahwa jalur ke Tanjung Bira macet beberapa kilometer saking ramainya pengunjung. Demi bisa menikmati pantai yang sedikit lebih sepi, saya dan keluarga memilih menunggu waktu yang tepat untuk ke Bulukumba. Selain itu, kami juga mencari alternatif lokasi yang mungkin memiliki fasilitas cukup memadai namun juga tak terlalu ramai. Pilihan kami jatuh pada Panrang Luhu, kawasan pantai di Bulukumba yang tak begitu jauh dari Tanjung Bira. Kalau di Tanjung Bira kita banyak menemukan hotel, cottage maupun penginapan yang bernuansa resort, di Panrang Luhu penginapan-penginapan yang jamak ditemukan berbentuk rumah panggung, rumah khas suku Bugis.

A glimpse of morning in Panrang Luhu

Senja di Panrang Luhu


Kami bertolak dari Makassar ke arah Tanjung Bira/Panrang Luhu di Sabtu pertama setelah lebaran, saat pengunjung Tanjung Bira sudah mulai berbondong-bondong balik ke daerah masing-masing. Memasuki kawasan Panrang Luhu, kami disambut dengan rumah-rumah panggung yang dijadikan penginapan, deburan ombak musim barat yang cukup kencang dan pasir putih yang menghampar. Sebagian penginapan di tempat ini masih terisi, kawanan pengunjung dapat dengan mudah ditemui bercengkerama di pantai, basah-basahan menghadang ombak sembari tertawa bersama sanak dan handai taulan, atau sekadar menikmati ikan bakar atau jajanan di bibir pantai. 


Tak afdol rasanya mengunjungi pantai tanpa menikmati pantai dan ombaknya. Sore itu juga, saya menikmati jatah vitamin sea saya yang sudah lama tak dinikmati. Ombak yang cukup keras sore itu tak menyurutkan niat kami, para penikmat pantai, untuk terus menikmati sentuhan air laut dan gulungan ombak pantai Panrang Luhu hingga maghrib menjelang. Malam harinya, berbekal ikan segar yang kami beli sebelum tiba di Panrang Luhu, kami sekeluarga menikmati hidangan ikan bakar dan sambal segar ditemani angin malam pesisir pantai. Orang setempat bilangnya "Nyamanna" alias "nikmat mana lagi yang kau dustakan, Kisanak".
Heaven...


Keesokan paginya, cuaca mendung menggelayut di Panrang Luhu, ombak lebih ganas dari hari sebelumnya. Alih-alih kembali mandi di laut, saya bersama istri dan anak menikmati perjalanan pagi di sepanjang pantai Panrang Luhu. Kami memanjakan mata dengan hamparan pantai di depan mata kami serta deretan rumah panggung khas Bugis. Tak lama setelah menyusuri deretan penginapan rumah panggung, pemandangan berganti menampilkan deretan kapal-kapal kayu berbagai ukuran yang sedang dalam pengerjaan. Kapal-kapal ini adalah kapal pinisi, kapal tradisional suku Bugis yang hingga sekarang masih banyak dimanfaatkan. Sejarah tentang perahu pinisi banyak terungkap di berbagai literatur, yang menunjukkan kehandalan perahu tradisional Bugis ini dalam mengarungi samudera. Sebelum pantai Panrang Luhu memukau banyak pengunjung, Panrang Luhu telah terlebih dahulu dikenal sebagai salah satu sentra pembuatan perahu pinisi. Konon, permintaan akan perahu pinisi masih terus berdatangan yang pastinya berkontribusi terhadap kesejahteraan para perajin perahu yang bermukim di sekitar daerah ini. 
the boat workshop

Pinisi in the making


Setelah meninggalkan Panrang Luhu, saya jadi penasaran ingin mencoba cruising menggunakan Perahu Pinisi, hehehe. Ada rute yang direkomendasikan? Tentunya yang harganya miring nan diskon, pemirsah. 

Plastik dimana-mana 

Satu hal yang selalu mengganggu di setiap pantai yang saya kunjungi adalah banyaknya plastik yang berserakan di pinggir pantai. Tak jarang saya bertemu pengunjung pantai yang memang sengaja meninggalkan sampah plastiknya di pinggir pantai. Sebagian sampah plastik yang saya temui juga kemungkinan terbawa oleh ombak dan terdampar di pantai-pantai yang saya kunjungi. Beberapa kali saya coba untuk mengumpulkan plastiknya, namun jumlahnya memang sangat banyak untuk bisa ditangani sendiri. Jika dibiarkan begini terus, lama-lama pantai cantik kita akan penuh dengan plastik dan boga bahari yang kita nikmati juga mengandung mikro plastik. 
Our collective trash....



Untuk kunjungan ke pantai berikutnya, saya dan keluarga akan mencoba mengurangi penggunaan plastik untuk bahan makanan dan minuman, biar tidak ikut menyumbang plastik ke dalam laut. 

Semoga aturan tentang plastik bisa semakin diperketat ya dan semoga kita-kita yang berkunjung ke wisata bisa bertanggung jawab terhadap sampah kita masing-masing. 
7 komentar
  1. udah kebiasaan ngantongin sampah kemana2, sayang ga semua orang punya kesadaran begini :(

    BalasHapus
  2. Pantai-pantai seperti ini memang tidak bisa dihindari dari sampah kiriman, semoga dengan adanya pariwisata, menjadikan tempat ini terjaga dengan baik

    BalasHapus
  3. Iya, terjadi di banyak pantai di Indonesia ya dan bukan cuma pantai sih tapi dimana2. Dan solusinya harus dari berbagai sisi, gak bisa dari masyarakat juga tapi dari sisi pemerintah/penyelenggara, dari sisi regulasi juga gimana.

    BalasHapus
  4. Sekali waktu saya pernah mampir ke Bulukumba, Bang. Naik motor dari Makassar--ternyata jauh banget. Sampai di Pantai Bara sudah malam, langsung buka tenda. Pas bangun pagi-pagi saya melongo sama warna air lautnya. :D

    BalasHapus
  5. Pantainya indah sekali ya
    masih alami
    asek buat wisata keluarga plus kulineran
    ikan bakar pastinya yang menjadi menu favorit
    soal sampah plastik, memang mejadi masalah dimana mana ya

    BalasHapus
  6. tulisannya sangat menggugah pikiran šŸ˜­ thanks mas sudah berbagi tulisan kerennya

    Pantainya bagus pasirnya, lagi lagi banyak sampah

    BalasHapus