Dorm mate/housemate for a lazy student like me (Part 3/Finale)

Hidup di Melbourne tak melulu menyenangkan. Meski Melbourne memiliki sarana transportasi yang lumayan dan tepat waktu serta panorama yang indah hingga tiap sudut kota Melbourne (katanya) layak diabadikan dalam postcard, selalu ada satu hal yang mengganjal saat saya kuliah/berkunjung ke luar negeri.... yakni  makanan. Santo yang menemani saya cuma setahun (kisah per-housemate-an saya dengan Santo bisa dilihat disini) telah meletakkan standar makanan yang tinggi di dapur rumah kami di Jones Street. Saya jadi kerap sangat pemilih dengan makanan padahal sejatinya saya gak memasak, inilah konsekuensi tinggal serumah dengan seorang chef handal, Pemilih tapi gak bisa ngapa-ngapain. 

Jones Street - Gubuk Derita
Saya sempat waswas bagaimana jika Santo pergi? Siapa yang akan memasak di rumah? Akankah saya kembali menjadi mahasiswa instan yang makannya mie instan, pasta instan dan fish cake instan? Kecemasan saya ternyata dijawab oleh Tuhan dengan mengirimkan dua chef handal yang lain. Ceritanya sebelum Santo pulang ke Indonesia, terdamparlah seorang pria baik hati di rumah kami di Jones Street. Namanya Toni, mahasiswa asal Aceh yang juga kuliah di kampus kami, the University of Melbourne. Rumah kami makin rame dengan kedatangan Toni. Tak dinyana, Toni juga piawai meracik bumbu bumbu dapur dan berkreasi menciptakan makanan yang menggugah selera. 



Sejak hari pertama di Jones Street, Toni telah memukau saya dengan kemampuannya membuat makanan berlabel balado dan woku. Ikan balado, ayam balado dan ayam woku sering sekali nangkring di meja makan kami dan dishare bersama saat ritual makan malam. Peran saya pun tak kalah pentingnya yakni memasak nasi pake magic jar, hahahahhaa. Ya iyalah, peran masak nasi itu penting, jika gak ada nasi, maka balado balado Toni gak akan ada temannya, jadi makan malam nya kurang lengkap. Meski kerap disuguhi balado, saya tidak pernah merasa bosan dengan masakan Toni, balado nya selalu terasa berbeda namun enak setiap kali disuguhkan. 
Ayam Woku ala Chef Toni

Sambel Terong Lezat ala Chef Toni
Tidak ingin berkutat hanya di kuliner Nusantara, Toni mulai merambah ke menu menu populer internasional. Resep murah meriah pertama yang dibawa Toni ke rumah adalah Pizza Beralas Pita Bread, yang dipelajarinya dari teman teman asal Amerika latin. Dengan menggunakan Pita Bread, kita tidak perlu sibuk lagi bikin dough untuk alas pizza. Bahan dasar lainnya adalah saus tomat, sosis, salami, dan tentunya keju. Membuat pizza beralas pita bread ini sangat mudah cukup dengan menaburkan, mengolesi dan menyusun bahan bahan tadi ke atas pita bread dan memasukkannya ke dalam oven selama kurang lebih 10 menit. Hasilnya pizza tipis enak yang crunchy. Dengan resep segampang ini saja, saya masih sering bikin kesalahan. Kalau Toni selalu berhasil menyajikan pizza nya dengan enak, saya acap kali menghasilkan pizza yang sedikit overcooked alias agak agak gosong alasnya. 
My self made pizza yang siap masukkan ke oven, hasil didikan chef Tony

Keahlian kuliner Toni juga mulai merambah ke dunia per-kue-an. Berbekal resep resep online, Toni selalu mencoba membuat kue kue bolu yang sederhana tapi enak. Beberapa kali Toni merasa bahwa resepnya tidak tereksekusi dengan baik, tapi toh kue nya tandas juga masuk ke perut saya, fakir makanan Jones Street. Mungkin dari sekian kelebihan Toni di dapur, kelemahannya adalah Toni kurang percaya diri dengan kemampuan masaknya. Toni pasti akan berkata "Mohon maaf yah kalau masaknnya kurang ini itu" saat menghidangkan makanannya. Padahal makanannya sudah sangat enak di lidah saya, PAS lah pokoknya. 

Setelah kepergian Susanto, saya hanya berdua dengan Toni di Jones Street. Tuhan berkehendak lain lagi ternyata di Jones Street. Selang beberapa bulan, muncullah sosok wanita di rumah kami. Seorang wanita penyayang dan perhatian asal Makassar yang juga baru diterima di the University of Melbourne. Namanya Masnijuri, kami memanggilnya Kak Masni dan oleh rekan rekan seangkatannya dia dijuluki Emak nya anak anak. Kedatangan Kak Masni membuat rumah kami semakin meriah, setiap pagi kami pasti dibangunkan oleh nyap nyap kak Masni yang mencoba mencari siapa yang dengan sembarangan meletakkan  kaos kaki di atas kursi atau kolor cowok di sofa atau hal hal remeh temeh lainnya.

Meskipun demikian, keahlian nyap nyap kak Masni berbanding lurus dengan kemampuan memasaknya. Kak Masni ahli dalam segala jenis makanan. Makanan khas buatan kak Masni yang sangat kami cintai adalah Mie Titi alias Mie Kering dan nasi kuning. Dapur kami sudah seperti dapur katering mengingat semakin seringnya frekuensi memasak di dapur. Kalau biasanya menjelang ujian, para mahasiswa semakin sering jajan di luar karena sudah ga sempat masak, suasana di rumah kami sebaliknya. Semakin ujian dekat, maka semakin banyak makanan yang terhidang di meja. Baik Toni dan Kak Masni menggunakan dapur sebagai sarana pelepas stres menjelang ujian. Tentunya yang paling diuntungkan dengan kondisi ini adalah SAYA. Belajar jadi lebih nyaman di rumah dengan asupan makanan yang tak henti. Di musim ujian, kak Masni bak ibu Peri yang memasak belasan box nasi kuning dan membawanya ke kampus untuk dibagi-bagikan ke teman teman yang sedang berjibaku dengan esai dan ujian. 

Stok snack saat ujian

Tumpeng enak ala Chef Masni 


Dapat bakwan plus sambel tomat yang enak di Melbourne itu sesuatu banget. Bakwan ala chef masni

Dalam hal cuci piring pun Kak Masni sangat ketat. Kak Masni tidak membolehkan saya menyentuh tempat cuci piring karena menurut dia wilayah dapur (termasuk tempat cuci piring) adalah teritorinya dan cuma Toni yang diizinkan untuk menyentuh dapur. Saya hanya diizinkan untuk masuk dapur jika ada kebutuhan mengupas bawang. Berhubung kak Masni dan Toni tidak suka mengiris bawang, saya lah yang dijadikan the Onion/Shallot Expert di Jones Street. Saya memang memiliki peralatan khusus yang membuat memotong bawang nampak mudah dan tidak menyiksa. 

Dapur Jones Street memang selalu membawa memori yang indah, namun bukan berarti bahwa tidak ada percekcokan di dalamnya. Ada satu isu yang sangat sensitif untuk dibahas di dapur kami: EXPIRY DATE atau label BEST BEFORE. Kami serumah nampaknya memiliki pendapat berbeda tentang istilah ini. Setiap bumbu dan bahan masak yang kami gunakan pasti memiliki label BEST BEFORE. Oleh saya dan Toni, label BEST BEFORE berarti bahwa bahan tersebut paling baik digunakan sebelum tanggal yang tertera pada label. Jadi jika melewati tanggal tersebut, bahan tersebut masih dapat digunakan cuma mungkin rasanya sudah tidak semaksimal sebelumnya. Saya dan Toni menyebutnya "BETTER AFTER". Jadi jika sudah melewati masa "BEST BEFORE", maka sebuah produk akan memasuki masa "BETTER AFTER". Pemahaman kami ini ditentang secara militan oleh Kak Masni. Menurut beliau tanggal yang tertera pada label "BEST BEFORE" adalah harga mati. Jadi, jika sebuah produk telah melewati masa "BEST BEFORE"nya, maka produk tersebut sudah tidak layak konsumsi. Sayangnya, yang berwenang sebagai Pengawas Obat dan Makanan (POM) di rumah kami ada di tangan Kak Masni, sehingga kerap pagi pagi setelah bangun tidur giliran saya dan Toni yang nyap nyap karena roti yang tanggal BEST BEFORE nya baru lewat sehari sudah dibuang ke keranjang sampah oleh kak Masni. Begitupun dengan bumbu bumbu dapur vital yang kerap kami gunakan, sudah dibuang juga ke keranjang sampah oleh kak Masni tanpa belas kasihan. Di setiap perdebatan tentang isu ini, pembelaan terakhir kak Masni adalah "Saya melakukan ini demi keselamatan dan kesehatan kalian, biar kalian tidak sakit perut dan dilarikan ke dokter". 

Lemari bumbu pemicu konflik, disinilah lokasi inspeksi label BEST BEFORE oleh Badan POM Jones Street
My Jones Street housemates

Kira kira beginilah sekelumit cerita tentang kehidupan saya (mahasiswa Indonesia yang tidak bisa masak), namun diberkahi dengan housemate housemate yang ternyata bisa merangkap sebagai chef handal. Jadi kebayang nanti kalau saya sekolah S3 (amiiiin), siapa yang jadi juru masaknya yah? (Tuhan pasti akan mengirimkan orang baik yang bisa masak lagi untuk kehidupan S3 saya nanti) #curhat    
17 komentar
  1. hahaha, maaf pak/mas/sda. cipu, saya yuli temannya mam masni, saya comment yah, senang dengan kata2 "best before adalah harga mati", yup mam gituloch, hahaha...

    BalasHapus
  2. ternyata yaa...
    kemampuan memasak itu sengat penting bagi kelangsungan hidup kita.

    tapi yang lebih penting lagi adalah, faktor keberuntungan. Hehehehe.... alhamdulillah Cipu beruntung, selalu dipertemukan dengan teman teman yang memiliki kemampuan memasak di atas rata rata.

    BalasHapus
  3. ahahaha.. semoga dapat chef utk kuliah S3 ta' nanti kak.. kalo bisa chef plus plus #ihik
    kakakku yg kerja di BPOM pernah bilang, sebenarnya tulisan best before itu jg masih ada toleransi sampe 1 bulan setelah tanggal itu. jadi kalo lewat 1 hari masih bisalah yaaa.. sama teman sendiri ini #eh

    BalasHapus
  4. Ih beruntunglah CIpu punya housemate seperti Toni dan kak Masni, bisa ngobatin kangen masakan Indonesia, ngirit pulak, plus nggak perlu cape masak :)))

    BalasHapus
  5. Ih beruntunglah CIpu punya housemate seperti Toni dan kak Masni, bisa ngobatin kangen masakan Indonesia, ngirit pulak, plus nggak perlu cape masak :)))

    BalasHapus
  6. Salam kenal, Cipu. Seneng bacanya. Sambil ngebayangin suasana dorm-nya... Saya mampir dari blog-nya Rossa.

    BalasHapus
  7. pasti mba masni baka nangis tersedu2 kalo baca ini deh.
    alhamdulillah sempat mencicipi masakan ayam lemon a la toni dan Mi titi a la mba masni yang famous itu

    BalasHapus
  8. Waahh.. Teringin sangat bisa ambil master di luar negeri. Numpang nanya dong. Kalo scholarship di Aussie, kelar kuliah dikasih extended visa buat nyari kerja nggak sih? Apa harus langsung pulang kayak di UK?

    BalasHapus
  9. Kadang manusia ngga selalu dapat yang terbaik, lumayan juga sudah bis disyukuri (sambil ngunyah mie kadaluarsa 3 bulan)

    BalasHapus
  10. Housmate mas Cipu keren-keren semua, bisa masak semua. Kenapa mas Cipu tidak ketularan ilmu memasak dari para housmate nya?
    Apakah emang tidak bisa masak sama sekali (kecuali masak mie instan)?
    Hahahahaha....

    Yaaaahh....semoga keturutan S3 nya dan di turunkan bidadari masak. Hahaha...

    BalasHapus
  11. Housmate mas Cipu keren-keren semua, bisa masak semua. Kenapa mas Cipu tidak ketularan ilmu memasak dari para housmate nya?
    Apakah emang tidak bisa masak sama sekali (kecuali masak mie instan)?
    Hahahahaha....

    Yaaaahh....semoga keturutan S3 nya dan di turunkan bidadari masak. haha

    BalasHapus
  12. Jadi ngebayangin rasanya disana..gk ada makanan sehari hari yg kita makan, makan mahal disana, kalo disana juga agak ribet bawa bahan makanan karena dilarang di imigrasinya

    BalasHapus
  13. waaaa beruntungnyaaa nasibmu mas, housemate yang cekatan dan ahi memasak. pasti ukuran lingkar perut terus bertambah yak..haha..
    q doakan smg nanti s3 sdh punya housemate, roommate, dan sekaligus chef handal! amiin

    BalasHapus
  14. alahmak beruntung nian nasibmu mas, dikelilingi para master chef d rumahmu. q doakan smg studi s3 nanti bisa dapat housemate, roommate, travelmate dan jugaaa chef pribadi yang handal dlm memasak.amiinn

    BalasHapus
  15. Best before bukan harga mati :)) Dulu gue juga berpikir ya mesti disingkirkanlah ya, dan gue pernah beres2in dapur menyingkirkan barang2 yg sudah expired tadi :)) tapi lalu gue baca artikel ttg itu. Mestinya yg sering berhadapan dgn makanan tau apakah makanan/bahan makanan yg sudah expired atau pas banget waktu best before-nya layak atau nggak. Kalau roti sih mestinya keliatan ya, udah jamuran atau baunya beda. :)) Setuju dgn housemate-mu tuh, masak itu bisa ngurangin stres, apalagi pas makannya :P

    BalasHapus
  16. Ada yang lebih bagus daripada bisa memasak sendiri. Namanya beruntung.

    Mas Cipu beruntung punya teman yang jago masak, jadi perut kenyang dengan makanan enak, tanpa harus mengeluarkan tenaga terlalu banyak... wkwkwkwkw

    BalasHapus