Lentera Surya di Pelosok Sumba

Mobil yang saya tumpangi mulai meninggalkan jalan beraspal dan memasuki jalur jalan berbatu. Saya sontak terbangun saat kepala saya mencium jendela mobil yang oleng karena melewati jalan berlubang. Seperti halnya di daerah lain di kawasan timur Indonesia, meninggalkan jalan beraspal berarti pelan pelan sinyal di telepon genggam akan semakin surut, dan berakhir dengan menyisakan tanda SOS atau no signal. Saya merubah moda telepon genggam saya ke moda pesawat, lumayan buat menghemat baterai. Meski mobil yang saya tumpangi bak berjoget dangdut menyesuaikan jalannya dengan jalur jalan yang berlubang, saya toh masih bisa menikmati hamparan bukit-bukit di Sumba Timur yang memesona. Bulan April memang bulan yang pas berkunjung ke Sumba, hijau rumput dan pepohonan masih tersisa dari hujan bulan Maret. Harap maklum, curah hujan di Sumba Timur tak setinggi banyak daerah lain di Indonesia. Iklim di sini boleh dibilang semi arid, makanya vegetasinya pun nampak serumpun dengan Australia Bagian Utara.

Setelah hampir sejam meninggalkan jalan beraspal, mobil yang saya kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah sekolah dasar di daerah Mbatakapidu, Sumba Timur. Seperti dugaan saya, sinyal untuk gawai sudah menjadi langka di tempat itu, senada dengan jalan yang kami lalui yang sudah tidak memiliki tiang listrik. Artinya daerah yang saya masuki saat ini adalah daerah off-grid, atau daerah tanpa aliran listrik. Saat memasuki sekolah ini, suasana nampak lengang, tak ada siswa siswi SD yang berlarian di halaman. Kami tiba di sekolah itu selepas jam makan siang, jadi mungkin memang sekolah sudah bubaran. Meski sekolah ini sudah masuk daerah off-grid, ada satu hal yang mencolok saat saya melangkah masuk ke pekarangan sekolah ini, seperangkat pembangkit surya photovoltaic atau biasa dikenal dengan istilah solar PV. 

SDN Masehi Mbatakapidu, Sumba Timur

Panel surya di sekolah

Ada apa gerangan? Kok bisa sebuah sekolah punya pembangkit surya kecil, punya PLN kah? Saat kami tanyakan, ternyata pembangkit surya ini bukan milik PLN dan tidak dikelola oleh PLN. Pembangkit itu ternyata dimiliki oleh sebuah perusahaan lokal di Sumba, bernama RESCO Sumba Terang. RESCO sendiri adalah kepanjangan dari Renewable Energy Service Company atau penyedia layanan energi terbarukan. Pasar yang dimanfaatkan oleh RESCO adalah daerah-daerah yang belum terjangkau oleh PLN. 

Jadi, belum semua daerah di Indonesia memiliki akses listrik? Jawabannya belum, rasio elektrifikasi kita saat ini di angka mendekati 98% - 99%, yang berarti tinggal tersisa 1%- 2% warga Indonesia yang belum mendapatkan akses listrik. Tapi ternyata untuk menggenapkan angka rasio elektrifikasi menjadi 100% atau mencapai universal access bukan perkara mudah, daerah-daerah yang masih gelap ini umumnya berada di daerah pulau dan daerah pedalaman yang aksesnya sulit. Kebanyakan desa-desa yang masih gelap ini terletak di timur Indonesia, namun di daerah barat Indonesiapun sebenarnya masih terdapat desa desa yang belum berlistrik, seperti di Nias. 

RESCO muncul menawarkan alternatif akses penerangan kepada warga di desa desa di Sumba yang memang belum terjamah listrik. Bermodalkan dana hibah dari luar negeri yang diperoleh melalui sebuah organisasi nirlaba bernama HIVOS, RESCO mulai menawarkan program lampu isi ulang kepada sekolah-sekolah dan masyarakat. Lampu-lampu isi ulang ini diberikan kepada para siswa untuk dibawa pulang ke rumah dan digunakan untuk keperluan belajar. Setelah pemakaian 2-3 hari, lampu-lampu akan dibawa oleh para siswa untuk diisi ulang di sekolah. Itulah sebabnya di sekolah dipasang fasilitas pembangkit surya, dilengkapi baterai untuk menyimpan listrik dari pembangkit surya serta tempat bagi anak-anak sekolah untuk mengisi ulang lampu. Dengan teknologi lampu yang sederhana serta proses pengisian ulang yang simpel, anak-anak sekolah ini beserta orang tuanya bisa dengan mudah mengoperasikan lampunya di rumah. Selain itu, mereka jadi bisa belajar dengan cahaya yang cukup dan tidak lagi belajar dengan menggunakan cahaya temaram dari lilin atau lampu berbahan bakar minyak tanah. Dengan pembayaran bulanan yang terjangkau yang diserahkan kepada pengurus di sekolah, anak-anak ini bisa menikmati penerangan di malam hari. RESCO pun beroleh pemasukan dari pembayaran para siswa dan pembayaran sekolah. 


Tempat mengisi ulang lampu

Tak hanya itu, RESCO bersama HIVOS  juga menawarkan paket-paket lampu isi ulang ini melalui warung-warung di desa. RESCO bermitra dengan para pemilik warung dengan memasang surya atap di warung-warung serta tempat mengisi ulang lampu. Warga yang ingin mendapatkan penerangan di malam hari, bisa mengunjungi warung dan mengisi ulang lampu mereka di tempat yang telah disediakan. Dengan iuran bulanan yang dibayarkan kepada pemilik warung, warga bebas melakukan isi ulang berkali-kali di warung. 

Lalu bagaimana jika ada kerusakan pada perangkat perangkat ini? Para pemilik warung dan pengurus sekolah tak perlu khawatir. RESCO memiliki sejumlah teknisi lapangan yang memang rajin mengelilingi wilayah kerjanya untuk memantau kinerja pembangkit surya serta memeriksa catatan-catatan kegiatan atau kendala di lapangan. Beginilah RESCO membangun kemitraan dengan mereka yang membantu penjualan di lapangan. 

Saat berkeliling ke sekolah yang menjadi pelanggan RESCO, saya didampingi oleh Jetty, satu-satunya teknisi lapangan perempuan yang bekerja di RESCO (profil Jetty bisa dilihat di sini). Jetty banyak bercerita tentang serunya bekerja di bidang yang ia memang tekuni, teknik elektro, sembari berkontribusi terhadap masyarakat yang memang membutuhkan listrik. Saat menemani Jetty ke beberapa lokasi mitra RESCO, saya melihat betawa cekatannya Jetty berjibaku dengan peralatan listrik yang selalu dibawanya dan betapa piawainya dia bersosialisasi dengan masyarakat. Saya diam-diam kagum dengan kinerjanya, pun dengan mimpi-mimpinya untuk bisa sekolah setinggi-tingginya. 

Jetty menjelaskan cara mengisi ulang lampu
Berbisnis di ranah off-grid tentunya tak melulu tentang keuntungan, kenyataannya banyak kendala yang dihadapi dalam mengembangkan bisnis model off-grid seperti ini. Mengedukasi masyarakat bukanlah hal yang mudah. Bagaimana merawat dan menggunakan lampu dengan benar, bagaimana melakukan pembukuan yang baik untuk para pemilik warung dan pengurus sekolah, sembari memastikan cashflow perusahaan tetap berjalan dengan baik. Mengemban tugas sosial dan tetap memastikan usaha bisa terus berjalan memang menjadi tantangan. Diskusi saya dengan Dedy Haning, Direktur RESCO, juga menunjukkan bahwa ada tantangan lain yang akan dihadapi oleh pelaku bisnis off-grid ke depannya. Tantangannya adalah operasional mereka di sebuah area bisa berhenti jika sebuah desa telah mendapatkan listrik PLN, sehingga RESCO harus mencari area operasional yang baru untuk memindahkan pembangkit surya dan kelengkapannya. 

Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi, RESCO dengan didampingi HIVOS masih berjalan hingga sekarang. Semoga, RESCO Sumba Terang bisa menjadi pembelajaran untuk pengelolaan wilayah-wilayah off-grid di Indonesia. Saya berharap akan banyak muncul usaha usaha bisnis off-grid seperti ini di Indonesia untuk membantu pencapaian universal access. Kita sudah hampir 75 tahun merdeka, tapi ternyata masih ada masyarakat Indonesia yang belum merdeka dari kegelapan.   
39 komentar
  1. Sukses selalu Resco Sumba terang semoga semakin berjaya kedepan nya.. dan menjadi andalan bagi masyarakat pulau sumbašŸ˜ŠšŸ¤©šŸ™
    SDM Mbatakapidu di daerah Sumba timur, Bukan Sumba barat.
    šŸ˜ŠMksih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas semoga tak hanya di Sumba, semoga mereka yang belum menikmati listrik juga dapat terjangkau listrik melalui skema yang sama dengan RESCO. Terima kasih atas koreksinya, caption fotonya sudah diubah ke Sumba Barat.

      Hapus
  2. Wah mantap nih resco. Kalo boleh usul di Toraja ada yang daerahnya tanpa listrik. Tapi sinyal internet malah kencengg. Padahal lokasi nya jauuuhh dan sulit dijangkau

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah Nhae, jangan ketawa ya, meski gw orang Sulawesi Selatan, gw belum pernah lo ke Tana Toraja wakakakak.

      Sebenarnya kalau PLN nya sudah dekat, harusnya dalam 1-2 tahun ke depan desanya sudah bisa terlistriki

      Hapus
    2. Aduh kalo ini gak bisa ditahan maap.. Hahaha.. Aduuuh sayang banget blom ngerasain jalan berkelok,udara sejuk di sana.. Coba apa kabar dengan ke suku kajang yaaa? *sombong :p

      Hapus
    3. Hahahah Nhae, ntar deh kalau ke Toraja, gua pamer di blog.

      Hapus
  3. Mas.. sekali kali ajak saya ikutan dong. Hahahaha.. keliatannya enak banget menjelajah negeri ini...

    Keren euy

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mas Anton, saya banyak nya travel duty, alias tugas kerja sekalian jalan jalan hahahah

      Hapus
  4. Mas keren bangetttt šŸ˜

    And thanks to RESCO, banyak desa yang tadinya nggak dapat penerangan lampu jadi bisa punya meski hanya masih seadanya šŸ¤§ nggak kebayang bagaimana rasanya hidup gelap-gelapan, secara saat lampu mati sebentar saja kadang sudah komplain ke PLN berulang-ulang ☹

    Eniho kerja mas Cipu seru, bisa sampai ke pelosok dan ketemu Jetty -- semoga Jetty bisa sekolah lebih tinggi lagi agar ilmunya bisa bermanfaat bagi sesama šŸ˜ terima kasih atas tulisannya mas, betul-betul mengingatkan saya untuk bersyukur karena dikasih penerangan tanpa harus isi ulang šŸ™ƒ

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya saya bersyukur diberi kesempatan jalan jalan ke pelosok. Jadi bisa lihat daerah Indonesia yang non turis hehehe. Kadang jadi kontemplasi sendiri melihat kesenjangan yang ada.

      Nanti salamnya buat Jetty disampaikan, saya masih aktif kontak kontakan sama Jetty. Dia lagi semangat memperdalam Bahasa Inggrisnya

      Hapus
  5. bisa ketemu dengan pelaku usaha "sosial" dan mendapat ilmu baru dari mereka sangat sangat menyenangkan dan jadi tau info kondisi di pelosok sana seperti apa, aku tau soal istilah istilah ini ya baru aja ini, baru baca dari blognya mas cipu hehehe
    pemikiran yang langsung muncul dikepalaku kalau mendengar soal terbatasnya aliran listrik yang nggak merata, pasti yang terbayang adalah indonesia timur.
    padahal daerahnya berpotensi kayak wisatanya, tapi masih ada kekurangan dibalik itu semua.
    aku lupa waktu travel kemana, lampu di pedalaman cuman nyala sampe jam 6 pagi kayaknya, selebihnya siangan sampe magrib ya ga ada lampu. kalau ini masih mending ya, yang di sumba sana malah nggak ada sama sekali. aku kok jadi pengen sambang ke daerah pelosok ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak saya beruntung diberi kesempatan bisa ke Sumba. Memang belum semua daerah bisa mendapatkan listrik, dan pemerintah sedang berjuang keras agar semua warganya bisa menikmati listrik. Semoga daerah daerah yang terpencil segera bisa terjangkau listrik ya Ainun.

      Berkunjung ke Sumba sih sudah pasti direkomendasikan. Kalau main sampai ke pelosoknya bisa lebih terpesona lagi dengan keindahannya.

      Hapus
  6. Sementara di kota besar anak2 dituntut punya gawai atau laptop buat belajar online dg kondisi kayak sekarang, ternyata di ujung2 sana masih banyak wilayah Indonesia yg belum dialiri listrik ya. Miris ya Mas Cipu, boro2 internet lampu aja mereka nunggu dicas dulu di sekolahan.

    Oiya selain HIVOS, setau aku juga ada USAID yg bergerak untuk memberikan bantuan renewable energy gini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya memang belajar online nyatanya belum bisa dilakukan oleh semua orang orang. Boro boro beli paket kuota, punya gawai dan akses listrik saja masih terbatas.

      Bener USAID itu mempunyai proyek yang bernama Indonesia Clean Energy Development (ICED) yang memang mendukung pengembangan energi terbarukan. Saya bekerja di proyek ini sekarang hehe

      Hapus
    2. Wah mas Cipu ternyata di proyek ICED ya.. Keren itu karena menggalakkan energi terbarukan yg masih kalah jauh sama batu bara kan..

      Hapus
  7. Semoga desa2 terpencil ini nantinya akan mendapat akses listrik juga. Dulu aku sempet sekolah setahun di Banda Aceh, yg notabene aja kota besar. Tp di situ pas THN 2000-2001 listriknya msh giliran mati idup. Bisa 3x sehari, dan kalo mati bisa sampe 6-7 jam. Sedih loh itu. Apalagi yg blm dpt akses listrik samasekali yaaa.

    Jd inget juga pas aku ke Korut THN lalu. Walopun mereka maju dlm hal nuklir, tp utk bbrp hal listriknya sangat terbatas. Makanya stiap rumah di sana punya panel Surya. Even di daerah pedesaan ya, aku liat stiap rumah dipasangin alatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, kalau masuk ke pedalaman baru kerasa memang ketimpangannya. Dengan ada lampu saja, anak anak jadi bisa lebih aman untuk belajar, pun orang tua mereka yang mungkin bisa menenun di malam hari atau lebih leluasa melakukan kegiatan produktif lainnya.

      Diharapkan ke depannya sih arah listrik nya sudah tidak untuk kebutuhan konsumtif lagi, melainkan juga untuk kebutuhan produktif

      Hapus
  8. teringat pertama kali ditugaskan di NTT dulu, begitu sampai Kupang, eh 2 hari kemudian tugas ke Sumba Timur selama 18 hari, jadilah Sumba Timur ini sangat membekas.. Di sana juga masuk-masuk sampai ke kampung pedalaman paling pelosok, melewati jalanan tanah, melewati bukit yang kanan kirinya jurang, kuda, sapi dan kambing berkeliaran bebas di sabana, seperti Afrika, namun tanpa singa.. Tapi dulu belum ada panel-panel surya itu.. Syukurlah sekarang sudah ada sedikit peningkatan fasilitas, senang rasanya mereka juga dapat menikmati listrik, walaupun yaaa, masih terbatas..

    -traveler paruh waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mas Barra, sekarang Sumba dikenal sebagai Sumba Iconic Island. Disebut demikian untuk mewujudkan Sumba sebagai pulau percontohan pemanfaatan energi terbarukan yang ditargetkan sampai 100%. FOkus di SUmba saat ini adalah meningkatkan rasio energi akses mendekati 100%. Semoga Sumba segera terlistriki semua ya

      Hapus
    2. mantap sekali yaa.. semoga bisa terwujud, setiap pelosok sumba dialiri listrik dari energi terbarukan dan semakin mensejahterakan warganya..

      Hapus
  9. Nah, ulasan ini sedikit banyak mulai mengenalkan ke khalayak kalau sebenarnya masih banyak wilayah di Indonesia yang belum ada sarana PLN juga dapat signal internet.
    Beberapa di pelosok pulau Jawa pun juga masih ada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak mas, tahun ini saja teridentifikasi masih ada 400 an desa yang teridentifikasi tanpa listrik. Semoga tahun ini semua bisa terlistriki with any means possible ya

      Hapus
    2. Jumlah angka desa yang mengejutkan .., di era digital sekarang ini masih saja ada desa yang belum ada penerangan listrik.
      Semoga cepat direalisasikan, mas.

      Gelap-gelapan begitu kok jadi keingetan masa kecilku di desa simbah buyutku yang saat itu belum ada sarana listriknya .., enak juga sih sekaligus rada takut šŸ˜ƒ. Kalo kemana2 bawa senter dan selalu berbarengan.

      Hapus
    3. Mungkin normal nya mereka yang di pedesaan Sumba adalah hidup tanpa listrik, jadu sebenarnya mereka sudah biasa dalam gelap. Nah kita kerap melihatnya sebagai sebuah penderitaan karena berangkat dari pengalaman kita yang sudah terbiasa menggunakan listrik. Cuma, memang negara mengamanatkan agar semua penduduk dapat menikmati listrik, makanya misi elektrifikasi harus tuntas hingga semua penduduk Indonesia bisa menikmati listrik yang handal dan terjangkau

      Hapus
  10. Wah, kabar baik ya :) Semoga di Indonesia ini gak ada lagi tempat ya gelap :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Indi, biar kita semua merdeka dari kegelapan

      Hapus
  11. Untung RESCO muncul nawarin alternatif akses penerangan ke warga di desa desa Sumba yang belum terjamah listrik. Ngga kebayang kalo ngga ada listrik itu gimana ya? Kita aja yang beberapa jam listriknya mati udah ngga tahan, gimana mereka? Hehe, semoga kedepan pemenuhan listrik di Indonesia bisa 100%. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya RESCO ini memberikan contoh bisnis model untuk penyediaan penerangan di desa desa yang terisolasi. Ke depannya tentunya, semoga listrik listriknya tidak hanya untuk kegiatan konsumtif, tapi mulai masuk ke kegiatan produktif, misalnya untuk penggilingan padi, pengolahan jagung atau pengolahan pasca panen lainnya

      Hapus
  12. Mengubah pola pikir soal sumber energi listrik ini kayaknya menantang banget ya, Bang? Belum lagi semuanya akhirnya mesti dibenturkan ke regulasi. Menurut saya, kalau memang perusahaan besar belum sanggup menyediakan layanan ke daerah-daerah yang jauh dari pusat, biarlah kelistrikan dikelola komunitas/perusahaan setempat yang memang mengerti betul kondisi di sana. Mereka bisa memanfaatkan sumber energi potensial lokal tanpa harus menunggu ada pembangkit besar di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyas mas Mori, sudah banyak contoh contoh penyediaan listrik yang swakelola atau dikelola koperasi, namun juga tidak semua bisa berkelanjutan. RESCO ini menawarkan model bisnis yang baru, dan mungkin bisa menjadi salah atu referensi.

      Hapus
  13. ah salam kenal mas baru nemu blog bagus ini
    aseli saya suka banget dengan kegiatan seosial semacam ini terlebih masalah listrik yang ada kaitannya dengan pendidikan
    sumba dan beberapa daerah di NTT memang memiliki keterbatasan akses kelistrikan
    semoga kegiatan ini bisa dicontoh di daerah lainnya.

    terima kasih sharingnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir mas Ikrom. Setuju mas, memang banyak daerah di timur yang masih tertinggal dalam hal akses, khususnya listrik, air, jalan dan pendidikan. Semoga pembangunan lebih merata ya mas di Indonesia

      Hapus
  14. Sebuah sisi lain dari gambaran sebagian kecil wilayah Indonesia Timur ya Mas, yang mana ternyata juga ada yang belum terpenuhi akses listrik secara paripurna

    Kebayang keadaan sebelum Resco masuk, kondisi belajar mengajar adek-adek di sana harus seadanya banget, yaitu dengan bertemankan cahaya lilin atau lampu teplok, yang mungkin di kampung halamanku dan pak suami uda berlalu sejak lama. Dulu pak suamiku pernah ngalami soalnya belajar dengan ditemani lampu senthir, dan kata beliau dulu bapak mertua juga sempet jualan lampu senthir. Tapi itu jauh pada era pertengahan 90-an. Dan ternyata, pada kenyataannya hal tersebut masih terjadi ys di beberapa wilayah di negeri kita tercinta, Indonesia.

    Beruntung, resco cukup menangkap peluang itu dengan menjadikan unit usahanya bergerak di bidang energi yang salah satunya adalah memfasilitasi lampu isi ulang untuk warga. Berbekal sdm seperti mba jetty dan juga teknisi lapangan lainnya, mudah-mudahan unit usaha yang banyak berkecimpung di ranah sosial kemasyarakatan ini terus berkembang ya mas, mana tahu ke depannya sudah jauh lebih canggih lagi, yaitu lebih dari sekedar lampu isi ulang. Amiiin.

    Btw, keren euy profesi mba jetty yang biasanya didominasi oleh kaum adam ini...hihi.

    Lalu pengalaman kerjanya Mas Cipu juga asyik-asyik banget lagi...sambil gawe sambil sekalian halan-halan ke berbagai pelosok negeri dan juga lintas negara ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, Alhamdulillah saya sering dapat tugas perjalanan ke pelosok Indonesia. Cuma kerjaan saya akan berakhir di bulan Agustus. Doakan kerjaan selanjutnya bisa jalan jalan lagi ya, biar bisa menceritakan keindahan pelosok Indonesia lagi.

      Hapus
  15. Duh ceritanya menghangatkan hati. Aku suka miris kalau dengar cerita tentang listrik yang belum masuk ke area tertentu. Tapi di sisi lain banyak cerita indah tentang harapan dan solusi, seperti ceritanya bang Cipu yang ini. Daripada protes aja, mending cari solusi. Bentuk bisnis yang menantang, ya kan.

    BalasHapus
  16. It is very sad that there are still places that are left without electricity. I know that being closer to nature means living the simplest life but in the country that I work at, we believe that electricity and energy is a basic right to humans and our company believes that energy, when manages correctly and sustainably, can bring light not just to the city but also to the remote areas. But I do agree that infrastructure can be a huge hindrance for remote places like this you shared in Eastern Indonesia. Both our countries being archipelagos, lines whether they may be internet or telephone lines, can really be a challenge. But I am happy that somehow they have a solar panel that can help :)

    Thank you very much for sharing this my friend Cipu! It made us aware that there really are people still in need of a closer link to technology.

    BalasHapus
    Balasan
    1. There are many challenges to achieve universal access: 1) Access to location, which affect the logistic cost, 2) Technology barriers, where the locals need time to master technology and perform operation and maintenance correctly, 3) Ability to pay, the area where electricity access is less, mostly associated with low income population, thus subsidy is needed to cover the gap in operational and maintenance cost, 4) replicable off-grid business model is rare

      Hapus
  17. Dengan begini wilayah yang tidak mendapatkan layanan PLN tetap bisa merasakan dan menikmati penerangan seperti yang lainnya... Semoga resco tetap ada dan bisa berada di wilayah wilayah lain di Indonesia ini, sukses selalu resco!

    BalasHapus