No Impact Man, a possible impossibility

Kami, para mahasiswa master lingkungan, memiliki semacam paguyuban yang dinamakan Postgraduate Environmental Network (PEN). Kegiatan PEN bermacam-macam mulai dari social gathering (nongkrong di pub sambil ngobrolin kuliah dan tugas), seminar tentang lingkungan, camping atau acara-acara lainnya. Saya tidak selalu bisa hadir di berbagai acara dikarenakan kesibukan belajar (sambil facebookan, blogging dan twitteran) atau lagi gak mood hadir. Minggu lalu sebuah undangan masuk ke FB group PEN, rupanya sebuah ajakan nonton hemat (baca: gratis). Sebuah film dokumenter berjudul "No Impact Man", belum pernah dengar kan? Iya lah, film ini memang bukan konsumsi studio 21, ini hanyalah sebuah film dokumenter yang mungkin dianggap tak komersial oleh bioskop-bioskop besar.

gathering mahasiswa

Well review film ini bukan berarti bahwa saya akan menjadi kritikus film full seperti dua sahabat saya, Rossa dan Exort. Tidak sama sekali. Namun, saya cuman ingin menyampaikan beberapa pesan moral yang mungkin bisa sedikit menggugah teman-teman yang membaca blog ini.

No Impact Man merupakan film dokumenter tentang sebuah keluarga New York yang mencoba tantangan setahun tanpa energi. Film ini adalah cerita tentang Colin Beavan serta istrinya, Michelle, dan anaknya, Isabella, yang baru berumur sekitar 3 tahun. Berisi tantangan hidup setahun tanpa mobil, plastik, lift, toilet paper, air conditioner, popok bayi sekali pakai, deterjen kimia, dll. Selain itu, selama setahun Colin tidak akan menonton televisi, tidak akan makan di restoran, tidak akan menggunakan gelas sekali pakai, tidak akan ngopi di starbucks, akan menjadi vegetarian bersama keluarganya. Ide gila ini berawal dari Colin yang merasakan kegalauan akan banyaknya sampah disekitar lingkungannya. Istri Colin, Michelle, adalah tipe wanita Amerika pada umumnya. Termasuk tipe istri yang doyan belanja. Namun demi cintanya pada suami, Michelle rela diseret permainan gila suaminya.
Invitation to PEN members

Langkah pertama yang mereka tempuh adalah menjual televisi serta barang-barang lain yang tidak diperlukan.  Di fase awal kehidupan tanpa dampak ini, Michelle mengalami masa-masa sulit. Dia merasakan betapa susahnya beradaptasi dengan hidup tanpa daging, tanpa starbucks, hidup tanpa televisi. Adu argumentasi sopan antara ia dan suaminya kerap terekam dalam video ini. Namun, tekad Colin memang kokoh dalam melaksanakan proyek ini. Setting yang kerap digunakan di film ini adalah sebuah pasar rakyat yang menjual buah buahan segar. Salah satu pesan yang diajarkan film ini adalah: konsumsi lah buah dan makanan lokal, karena buah buah impor lebih banyak menghabiskan emisi pada saat dikirim ke negara tujuan. Colin juga menunjukkan betapa bungkus plastik atau kotak sebuah makanan adalah bentuk tindakan "nyampah".

Tantangan-tantangan awal yang dihadapi keluarga ini lumayan banyak. Misalnya menggunakan popok kain yang harus dicuci setiap kali Isabella abis poop, tentunya penggunaan popok kain dianggap lebih ribet dibandingkan menggunakan popok sekali pakai. Colin menganggap bahwa masyarakat kita sudah jadi masyarakat sekali pakai (disposable community), karena kita belum sadar bahwa popok bayi merupakan jenis sampah terbanyak ketiga dunia. Tantangan lainnya adalah buang air besar tanpa tisu. Mungkin ini mudah bagi kita yang orang Timur, namun percayalah BAB tanpa tisu bagi mereka bagaikan BAB tanpa air bagi kita.

Colin yang juga seorang blogger, kerap mendapat undangan tampil di TV atau wawancara di radio berkaitan dengan No Impact Man project yang dia jalani bersama keluarganya. Dia kerap disangka gila karena mencoba melakukan hal-hal yang tidak mungkin. Apa jawab Colin? Colin cuman menjawab: "Kenapa harus menunggu peraturan untuk berbuat, kalau memang para anggota Kongres/Dewan belum membuat peraturannya, maka kita sendiri yang harus memulai berbuat". Tantangan lainnya adalah salah seorang rekan kantor Michelle diminta oleh istrinya untuk menjauhi Michelle, karena Michelle dianggap gak higeanis mengingat Michelle BAB tanpa menggunakan tisu. Namun, Michelle tegar dan tetap mau melanjutkan proyek sableng ini. Ini merupakan sindiran kepada kita semua yang terus mengotori bumi ini tanpa merasa bersalah. Saya tertohok.

Selama 6 bulan pertama, listrik masih digunakan meski dibatasi hanya untuk keperluan laptop, lemari pendingin, dan beberapa penerangan. Setelah itu, penggunaan listrik total hanya untuk laptop saja. Itupun biasanya dipake Colin untuk update blog dan menyapa penggemarnya. Karena lemari pendingin sudah dijual, Colin mencoba menggunakan cara cara tradisional ala Afrika untuk mendinginkan makanan, yakni menggunakan pot tanah liat. Namun, sayangnya upaya ini tak berhasil. Akhirnya, mereka menggunakan termos kotak  sebagai pengganti lemari pendingin.

Selain berisi kisah harian dan drama keluarga Colin, film ini juga menceritakan upaya Colin untuk lebih mengenal lingkungan. Dia ikut secara rutin membantu pengelolaan kebun kota, mengunjungi kawasan peternakan dan pertanian untuk mengetahui asal-muasal makanan yang ada di meja makannya. Selama mengunjungi tempat-tempat ini, Colin selalu membawa Isabella, sang anak yang super lucu. Ini dilakukan untuk menanamkan kesadaran lingkungan pada anaknya yang masih kecil.

Setelah setahun, Colin akhirnya mengakhiri proyek ini. Lampu kembali dinyalakan. Namun banyak perubahan yang drastis yang keluarga ini rasakan. Mereka sadar bahwa mereka tak akan kembali ke kehidupan konsumtif mereka. Michelle bertekad akan terus bersepeda dan merasa bahwa hidup yang dijalaninya selama setahun memberi banyak pelajaran tentang hidup yang sustainable (lestari).

Film ini disajikan apa adanya serta diselingi dengan kelucuan-kelucuan spontan ketiga pelakon utamanya. Mereka tidak berperan sebagai siapapun, melainkan sebagai diri sendiri. Jangan berharap soundtrack indah saat menonton film ini, jangan berharap aktor atau aktris rupawan dalam film ini. Karena film ini murni dokumenter, film ini murni tentang seorang anak manusia yang ingin melihat bumi ini berubah. Film ini tentang kekhawatiran seseorang akan keberlangsungan hidup manusia lain di Tuvalu dan negara Pasifik lainnya yang sebentar lagi akan tenggelam karena kenaikan air laut akibat emisi yang terus kita keluarkan. Film ini berisi humor satir sebuah keluarga yang mencoba memberi sesuatu pada dunia dan berharap secuil komitmen mereka bisa diadopsi oleh orang lain.

Di akhir film nya, Colin mengatakan: If only we could do more good than harm to our Earth.

Saya pastinya tak bisa menjadi persis seperti Colin, namun saya belajar banyak dari film ini. Saya jadi merasa betapa banyak sampah yang saya produksi, betapa saya masih sangat tergila gila sama gadget-gadget baru yang fungsinya mungkin ga penting. Inti film ini adalah: bertindak mulai sekarang, jangan tunggu peraturannya dibuat dahulu. Mulailah dari hal yang kecil. Proyek ini awalnya ditanggapi pesimis oleh banyak orang karena dianggap mustahil sebuah keluarga bisa hidup tanpa ini dan itu, namun Colin, Michelle dan Isabella mampu membuktikan bahwa dunia gak kiamat meski gak ada listrik. Malah berkat gelap-gelapan, di ujung film ini Isabella akan dapat adik lagi. Hahahahaha

Bagi yang penasaran, silahkan nonton triler di bawah ini. Bagi yang tertarik berkunjung ke blog Colin bisa klik disini.


20 komentar
  1. Wiiiihhh.... sekalinya ngereview film langsung bikin tulisan yg keren banget!!! Soalnya ngereview sekaligus membawa misi penyadaran lingkungan untuk pembaca tulisan ini ya Pu :)

    Oh well, memang saya juga masih sering bertindak jahat sama bumi ini. Tapi sedikit demi sedikit mulai dikurangi ko. Cuma ngelakuin hal simpel seperti pakai kertas bolak-balik, meminimalisir penggunaan kantong plastik untuk belanja, jadi vegetarian (walau cuman 3 bulan dan tetep mengkonsumsi ikan). hehehe... ayoo terus melakukan hal kecil yg berguna untuk bumi ini :D

    BalasHapus
  2. ketawan banget deh anak lingkungannya :D
    gw tau film ini (walau blm pernah nonton), kl ga salah keluarga colin ini pernah di undang seperti ke acara oprah, emang ekstrim banget apa yag dilakuin mereka ya
    yuk kita mulai dengan hal kecil dari kita sendiri yuk

    BalasHapus
  3. No Impact Man, layak dicatat sebagai referensi film dokumenter. Saya nggak tau apakah dilm ini bisa diperoleh di Indonesia atau didonlot gratisan lewat internet atau nggak. Tapi pesen moral yang Cipu review keren banget, emang nggak harus nunggu pmerintah bikin aturan buat mengubah kondisi.. dan mulai dari diri sendiri adalah hal yang bisa dilakukan oleh siapapun.

    saya pernah liat tantangan seperti ini di Oprah Winfrey, tapi nggak sampe setahun. Apalagi kalau keluarga, saya ngebayangin emang kalo nggak sevisi bakalan kejadian konflik juga. Hemm.. rasanya juga pengen nyoba go green deh, minimal gak minta kresek kalo belanja.

    BalasHapus
  4. hhm....
    untung ada orang seperti Colin yang sebegitunya keukeuh untuk tidak bertindak jahat ke Bumi ini ya, kita jadi tersedar.
    meskipun tidak kana mampu serta merta menjalani hidup sepertinya, tapi at least, ada kemauan untuk mengeREM hal hal yang bisa mengotori Bumi.

    FYI, Dija sampe sekarang masih pake popok kain ;)
    tapi cuci popoknya pake deterjen, hehehe sama aja ya?? tetep mengotori lingkungan??

    cuma kalo ada special occasion, baru deh pake popok sekali pakai.

    BalasHapus
  5. Review yang keren. Membuat gue tertarik untuk nonton. Coba ah ntar cari-cari.

    Pesan dari filmnya yang tentang lingkungan. Setuju banget ah. Penting bgt buat kita menjaga lingkungan, karena kalau bukan kita, siapa lagi ?

    BalasHapus
  6. Saya pernah menonton film docummenter ini, sangat inspiratif. Terkesan primitivsm, tapi ini murni bisa menjadi gerakan untuk menyelamatkan bumi. Kita pun tak perlu takut untuk melakukan hal yang sama, walau tidak sampai level extrime seperti yang dilakukan oleh Collin sekeluarga.

    Saya dan beberapa kawan di Purwokerto pun sedang mencoba mengkampanyekan 'save earth', termasuk membahas film ini ke kawan-kawan lainnya.

    BalasHapus
  7. wah, kayanya rameeeee...!

    sukses bikin penasaran. bisa ditonton dimana ya kak full filmnya? :D

    BalasHapus
  8. pas banget lah sama jurusan bang cipu di sana... hihihi... Tapi si Colin saking cintanya sama lingkungan, dia sampe nyari asal muasal makanan yang ada di meja makannya ya... ribet.

    BalasHapus
  9. wah kalo saya sih kayaknya nyampahh banget deh selagi hidup. utk konsumsi makanan sih, enakan sayur dan buah lokal emang.
    kalo ga pake tissu, gpp..
    kalo ga ada listrik, itu yg susah. apalagi harus mendinginkan makanan pake pot tanah liat. istri nya colin sabar juga ya..

    kayaknya saya harus nonton deh

    BalasHapus
  10. wah kalo saya sih kayaknya nyampahh banget deh selagi hidup. utk konsumsi makanan sih, enakan sayur dan buah lokal emang.
    kalo ga pake tissu, gpp..
    kalo ga ada listrik, itu yg susah. apalagi harus mendinginkan makanan pake pot tanah liat. istri nya colin sabar juga ya..

    kayaknya saya harus nonton deh

    BalasHapus
  11. mulai mengumpulkan sampah bekas bercinta yg tersembunyi dan menyembul dari balik kasur dan selimut. bwakakakakakakkk....wakakakakakkk

    dari mana saja kau kodong?

    BalasHapus
  12. bwakkkakkaka...jarang-jarang bisa romantis kawand, itu juga kudu nekad ke bandung hari sabtu kemarin.

    tengkyu loh doanya, amin....amin...aminnnnn

    BalasHapus
  13. Wuihhh...
    luar biasa perjuangan keluarga Colin itu.
    saya jadi bergidik membayangkannya.
    butuh kekuatan niat yang sungguh luar biasa, karena tantangannya pasti juga luar biasa

    BalasHapus
  14. reviewnya bagus. jadi pengen nonton deh :p

    BalasHapus
  15. kayaknya menarik ini film, saya barusan ingin menuliskan hal-hal kecil utk melestarikan lingkungan dan tiba2 membaca posting ini, makin terinspirasi saya :)

    BalasHapus
  16. eh kalo boleh tau itu yang jadi header mu foto dimana yaa? bagus pohon-pohonya :D

    BalasHapus
  17. iya kayaknya di luar negeri..., pastinmya tuh. :)

    BalasHapus
  18. salam kenalan dari sahabat seberang :)

    BalasHapus