Berpacu Dalam Melodi di Nias Selatan

Saya sangat senang saat mengetahui bahwa tim saya akan melakukan survei ke Nias. Meski judulnya survei, yang artinya bukan have fun, saya toh tetap senang. Sudah beberapa bulan terakhir memang saya berkutat dengan data dan informasi terkait Nias. Jangan tanya tentang surfing atau lompat batu di Nias yah ke saya? Saya bukan mencari informasi tentang tempat wisata di Nias, akan tetapi saya banyak berkutat dengan nama-nama desa di Nias yang notabene unik. Kalau diperhatikan, penamaan desa di Nias banyak kemiripan dengan penamaan tempat di New Zealand (hahahaha beda banget yah pembandingnya). Baik di New Zealand maupun di Nias, suku kata di nama-nama tempat jarang yang berakhiran konsonan. Lihat saja nama-nama tempat New Zealand (kecuali Wellington, Christchurch, Queenstown, Auckland dan beberapa tempat yang memang menggunakan bahasa Inggirs): Rotorua, Tongariro, Te Anau,  Waikato, Wainuoimata, dst. Kata-kata asli suku Maori ini umumnya tak memiliki suku kata berakhiran konsonan. Kesamaan ini juga saya temukan di penamaan desa-desa di Nias, beberapa contoh yang saya dapatkan antara lain: Hiliasawate, Lolomaya, O'o'u, Hiliorodua, Balosalo'o, Hiliorudua dan sejumlah nama nama uniknya. Berhubung Nias Selatan saja ada 400 an nama desa, alih alih merasa bosan saat mengerjakan datanya, saya justru merasa terhibur saat mengerjakan data Nias karena nama-nama yang unik tadi.

Bandar Udara Binaka, Nias

Perjalanan 50 menit dari Kualanamu ke Bandara Binaka, Gunung Sitoli, Nias terasa sangat singkat. Kami mendarat dengan selamat dan segera bertolak ke bagian selatan pulau itu. Kami menuju ke Teluk Dalam, yang memakan waktu sekitar 2 jam 20 menit dari Bandara Binaka. Di sepanjang perjalanan saya terus mengamati plang atau papan informasi yang ada di jalan untuk mengetahu nama-nama daerah yang kami lalui. Walhasil, saya senyum-senyum sendiri, karena banyak nama daerah yang sudah familiar. Karena sudah familiar dengan nama desa-desanya, saya jadi merasa tidak asing dengan Nias, padahal ini kali pertama saya ke Nias. Tak punya data, maka tak kenal, tak kenal maka tak ada perjalanan dinas kan? 

On our way to Teluk Dalam, South Nias

The so-called sliding rock a.k.a batu bergeser

Tiba di Teluk Dalam, kami berkesempatan berbincang-bincang dengan pemerintah daerah setempat, setelah itu kami segera menuju ke hotel. Jangan berharap hotel di Teluk Dalam setara dengan hotel-hotel elit di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Hotel di daerah ini jauh dari standar tersebut, bahkan boleh dibilang sangat sederhana. Saya pribadi jarang bermasalah dengan hotel, soalnya biasanya nginapnya di hostel, yang sekamar bisa ber enam atau berempat belas, paling parah pernah sekamar ber dua puluh. Jadi untuk bisa mendapatkan kamar sendiri itu rasanya sudah bersyukur banget. 
One of the sunset views from my room

Hotel yang kami tempati bernama Howu-howu, terletak persis di atas pantai. Bangunan penginapannya berdiri kokoh di atas pantai, lebih mirip cottage sebenarnya. Dari depan hotel ini nampak kurang menjanjikan, karena memang sedang renovasi. Gerbangnya lebih mirip pintu masuk kolam renang standar di Jakarta, seadanya. Namun begitu kami masuk ke bagian dalam tempat ini, kami mendapati pemandangan laut yang lumayan memanjakan mata, ditemani semilir angin pantai sepoi sepoi dan matahari yang sudah hampir memberi tanda waktu buka puasa. Sebuah sore yang indah, awal yang baik untuk kunjungan saya dan tim ke Pulau Nias. 
Another view from my room
Saat kami tiba, hanya ada sembilan kamar yang tersedia, kebetulan memang kami butuhnya sembilan kamar. Beberapa kamar masih dalam tahap pengerjaan. Interior dalam kamarnya juga sangat sederhana berisi dua tempat tidur, sebuah TV kabel (yang channelnya hanya TVRI, Global, Metro, TV One dan saluran saluran relijius islami), serta kamar mandi dengan shower. Meski kamarnya sederhana, hal yang menarik di hotel ini adalah viewnya. Hotel ini menawarkan pengalaman tidur dengan suara ombak, plus panorama laut yang tak kunjung membuat mata jenuh. Fasilitas biasa saja, pemandangannya yang ciamik. 
Those spicy lobsters.....mouth-watering
Malam pertama di Teluk Dalam saya habiskan dengan pesta seafood bersama tim saya. Emang yah kalau makannya di pinggir pantai, menu seafood segar nya memang bikin nagih. Saya nambah lobster beberapa kali, teman teman yang lain cuma geleng-geleng melihat nafsu makan saya yang memang susah direm. Habis makan, kami balik ke hotel dan bersiap tidur. Saat kembali ke hotel, saya baru sadar bahwa selain menyediakan penginapan, hotel tempat kami menginap juga ternyata memiliki restoran yang lengkap dengan organ tunggal. Restorannya ditata dengan konsep terbuka sehingga tidak ada sekat yang tercipta antara restoran dan panggung organ tunggal dengan kamar-kamar hotel. Saat saya kembali ke kamar, sempat terdengar organ tunggal dimainkan tapi hanya sekejap. Setelah itu suasana kembali diisi dengan deburan ombak, dan suara tawa yang sesekali muncul dari restoran. 

Malam terakhir di Teluk Dalam, sebelum kami bertolak ke Gunung Sitoli, kami berbuka puasa di salah satu warung padang di Teluk Dalam (yang tidak memiliki menu rendang padahal saya lagi pengen makan rendang). Setelah itu, kami kembali ke hotel. Saat tiba di hotel, restoran hotel itu nampak full dengan tamu. Organ tunggal pun dimainkan. Saya awalnya cuek saja. Saya mulai merasa terusik saat lewat jam 10 malam, organ tunggal masih dimainkan. Panggung dan restoran yang jaraknya cuma 20 meter dari kamar saya membuat saya mau gak mau harus mendengarkan urutan lagu-lagu para tamu yang kebelet nyanyi. List lagunya pun sangat mudah ditebak, dimulai dengan lagu Batak, setelah itu dilanjutkan dengan lagu dangdut koplo Pantura, dan diakhiri dengan syahdu melalui lantunan lagu-lagu slow rock Malaysia. Yassalaaam, kalau saya lagi mood sih saya pasti ikut nimbrung melengkapi koleksi lagu malam itu, saya tahu beberapa lagu padang pasir soalnya. 

Malam kian larut, tak lama kemudian hujan deras turun diiringi gemuruh suara angin kencang. Saya bersyukur dengan sapaan alam ini, saya berharap dengan hujan dan angin mereka menghentikan kegiatan pentas seni mereka. Dugaan saya meleset, mereka malah makin semangat nyanyi, saya ingat banget lagu yang didendangkan saat hujan deras malam itu. Kira kira lagunya 

" Kusangkakan, panas berpanjangan, 
Rupanya gerimis, rupanya gerimis, mengundang" 

(pada tahu kan lagu ini, gak usah pura-pura ga tahu deh) 

Saya tertegun, ini hujannya udah hujan deras plus angin, masih saja menyangka air yang jatuh itu gerimis mengundang. Ah lagunya salah sikon nih. Setelah kira-kira jam sebelas malam, hujan sedikit mereda. Acara berpacu dalam melodi di panggung sebelah kamar masih lanjut. Ini tenaganya pake apa sih kok ya tahan yah nyanyi non stop dari jam 7 malam. Rupanya Tuhan mendengar doa hambanya yang tertindas, harapan saya untuk tidur di tengah kedamaian pelan-pelan mulai menunjukkan titik terang. Jam sebelas lewat sedikit, sebuah lagu slow rock Malaysia di dendangkan dengan pitch tak terkontrol. Lucunya saat memasuki reffrain lagu, seisi hotel mati lampu. Saya senyum-senyum sendiri. Semoga setelah lampu nyala, mereka sudah tidak menyanyi lagi. 

Dugaan saya salah lagi, begitu lampu dinyalakan, mereka kembali mengulang lagunya dan mulai asyik berdendang. Selang beberapa menit, begitu memasuki reffrain lagu, lampunya mati lagi. Si biduan terdengar seperti unta kecekik karena mungkin beliau sedang memanfaatkan diafragmanya untuk mencapai nada tinggi namun terkejut dengan listrik yang padam. Saya ngakak sendirian di kamar. Sayup-sayup terdengar mereka bubar. Saya akhirnya dapat tidur dengan tenang. 

Lesson learned: sepertinya memang nada suara berpengaruh pada tarikan watt listrik. Tuh buktinya, mati lampunya kejadian setiap kali si bapak masuk reffrain. Kasian juga sih, sudah ancang-ancang pake suara perut, yang keluar malah suara leher..... kejepit.      
6 komentar
  1. Huahahaha lagu gerimis mengundang.
    Hmmm postingan ttg istri tercinta manah dongggg...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Postingan tentang istri tercinta nanti akan terus ada kok :-) tunggu aja cerita cerita travelingnya mbak

      Hapus
  2. Hahahahahahahaha. Ngakak melulu baca scene organ tunggal, gerimis mengundang, dan mati lampu. Duh Nias, saya belum pernah kesana. Tp bln 8 saya mau ke New Zealand nih cipu hihihi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Syukurnya kantor ku banyak perjalanan nya yang ke daerah daerah eksotis, berharap sih ke bagian Timur Indonesia. Fingers crossed.

      CIeeh yang mau ke NZ. You wont regret your NZ experiences. Kalau butuh guide di Auckland kabarin yah Mut

      Hapus
  3. jgn remehin org batak nias mas ;p.. tp kyknya memang semua org batak seperti itu... akupun batak juga.. dan kalo udh pesta, kita bisa nyanyi semalam suntuk wkwkwkwk ;p lah kalo nikah aja pestanya 3 hari 3 malam ;p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga suka nyanyi kok mbak. Malam itu cuma kecapekan aja makanya saya ga ikut nyanyi hahahahah

      Hapus