Pesawat yang saya tumpangi mendarat mulus di Bandara Chales de Gaulle Paris tepat pukul 7 pagi. Paris menyambut saya dengan sendu, hujan rintik-rintik dan suhu yang masih di bawah 10 derajat memantapkan saya untuk memasang jaket dengan benar. Maunya saya, suhu seharusnya sudah di angka belasan derajat karena sudah memasuki musim semi, tapi apa daya, Paris berkata lain. Sejam setengah sebelumnya di pesawat, saya baru saja menikmati sahur dan siap menyongsong beberapa hari terakhir puasa Ramadhan di Paris. Imigrasi tak begitu panjang saat saya dan kolega saya tiba di Bandara. Petugas imigrasinya pun tak bertanya apa apa saat akan mengecap passport saya, padahal saya sudah siap ditanya-tanya, halah sombong.
Salah satu sudut Bandara CDG Paris |
Setelah proses imigrasi selesai, kami beranjak menunggu koper di conveyor belt. Setelah koper kami berada dalam genggaman, (maksudnya pegangan koper yang digenggam), kami beranjak menuju ke pusat informasi turis. Kami mengemban tugas mulia untuk melakukan efisiensi perusahaan dengan mencoba menggunakan metro, sistem kereta terintegrasi di Paris. Selain bisa menghemat biaya, juga bisa membantu kami lebih fasih dalam menguasai sistem metro Paris. Memang karyawan teladan ya, efisiensi perusahaan number one. Petugas tiketnya menjelaskan bahwa untuk bisa ke kota dengan kereta bandara, biayanya12 Euro perorang. Saya berusaha tak mengonversi 12 Euro ke Rupiah demi menghindari penyesalan, namun otak tak berkhianat, dikonversinya 12 Euro itu menjadi Rp 192.000. Dengan 12 Euro, saya bisa beli lebih dari 15 buah coffee bun Roti O. Eh kenapa jadi overthinking ya, kan dibayarin kantor.
Selain membeli tiket kereta ke kota, kami sekalian membeli 5 day pass (akses tak terbatas naik kereta 5 hari) untuk memudahkan perjalanan kami dengan kereta nantinya selama di Paris. Kami mulai menggeret koper menuju jalur kereta bandara, yang kemudian mengantar kami ke stasiun kereta Terminal 3 bandara Paris. Menurut Om Google, untuk bisa ke stasiun Pasteur yang jaraknya dekat dengan hotel yang akan kami tinggali, kami harus melalui line B terlebih dahulu, lalu pindah ke line 6 di stasiun Denfert-Rochereau (interchange). Ah easy peasy, saya jumawa, sudah yakin akan tiba dengan sehat sentosa sampai ke hotel.
Le metro a Paris |
Dari bandara, metro menyusuri line B menyusuri daerah-daerah pinggiran Paris dan pelan-pelan memasuki Daerah Khusus Ibukota (DKI) Paris hehe. Kami bergegas keluar metro saat kami tiba di stasiun Denfert-Rochereau. Di stasiun ini kami diminta berganti ke line 6. Berbekal bahasa Prancis iqro' 1, kami mencoba mempelajari petunjuk yang kami temui sepanjang koridor untuk menuju ke line 6. Ternyata cukup mudah. Jadi kami mulai menyusuri koridor menuju ke line 6. Satu hal yang kami belum antisipasi adalah tangga jahanam yang ada di setiap sekian meter selama perjalanan menuju ke line 6. Jadi, kami yang membawa koper cukup besar (isinya selain baju, ada indomie, oleh-oleh, dumbel, alat berat dan treadmill), harus menyusuri banyak tangga naik dan turun demi menuju ke line 6.
Escalier o escalier |
Awalnya masih terasa cukup enteng, mengangkat koper dengan perkasa melewati deretan tangga pertama. Lanjut menggeret koper selama beberapa puluh meter dan disambut tangga lagi. Kecepatan dan keperkasaan menenteng koper makin berkurang seiring dengan bertambahnya anak tanggak yang harus kami lalui. Proses geret, angkat, geret, angkat ini berlangsung berulang kali sampai akhirnya hawa dingin tak terasa lagi, jaket pelindung sudah tak berguna lagi, dan ketek mulai terasa basah. Dalam hati saya mengutuk, ini kok jalur koridornya gak ramah banget sama penumpang yang membawa koper, gimana dengan penyandang disabilitas saat mereka mau pake keretanya untuk bepergian.
Suasana stasiun Metro yang sedang sepi |
Labyrinth |
Perjalanan menggeret dan mengangkat koper itu akhirnya berakhir begitu kami berhasil tiba di peron line 6 yang selanjutnya mengantarkan kami ke Stasiun Pasteur (tapi bukan di Bandung). Lega? Tentu tidak. Kami masih harus menapaki dua paket tangga untuk bisa keluar dari stasiun Pasteur. Tapi tangga di stasiun Pasteur sudah tidak seberapa, kami sudah dibikin kapok di interchange stasiun sebelumnya. Untungya hotel kami cuma berjarak 50 meter dari Stasiun Pasteur, jadi cuma salto dikit plus ngesot, kami sudah bisa tiba dengan selamat namun kurang sentosa di lobi hotel. Kami tiba di hotel menjelang pukul 10 pagi dan beruntung kami bisa dapat kamar untuk langsung check in. Sepertinya Paris berusaha minta maaf atas tangga-tangga jahanam di stasiun keretanya.
J'arrive Ć Pasteur |
Saya yang penasaran akan tangga, akhirnya googling. Metro Paris adalah jaringan kereta tertua keenam yang mulai beroperasi sejak tahun 1900, setelah London, Turki, Budapest, Glasgow dan Boston. Sepertinya karena dibangun lebih dari 100 tahun lalu, isu-isu akses untuk penyandang disabilitas belum terlalu diperhitungkan. Sejak line pertama dibangun dan beroperasi di tahun 1900, banyak line baru yang dibuka dan saat ini terdapat lebih dari 300 stasiun perhentian di sistem Metro Paris. Namun hanya sekitar 3 persen dari stasiun tersebut yang ramah penyandang disabilitas. Metro London yang beroperasi lebih dulu memiliki 20 persen stasiun yang ramah penyandang disabilitas, dan menargetkan untuk menciptakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di lebih dari 40 persen stasiunnya. Isu aksesibilitas untuk penyandang disabilitas sudah banyak disuarakan namun sepertinya memang belum menjadi isu prioritas padahal menurut statistik terdapat lebih dari 1,3 juta penduduk kota Paris (semacam Jabodetabeknya) menyandang disabilitas.
Le beau Paris |
Saat bertemu dengan pak Bos di Paris, beliau bilang gini: "Why didn't you take a cab, it is justified to take a cab when there are more than one staffs travelling. It is more convenient" (Kalian kenapa ga naik taksi saja, kalian kan travel berdua. Naik taksi lebih nyaman). Saya bengong, lah tahu gitu, kita naik taksi saja dari Bandara.
Saat kerjaan di Paris selesai dan kami akan pulang merayakan Idul Fitri di Indonesia. Kami akhirnya naik taksi dari hotel ke Bandara. Nyaman, no hassle dan bayarnya 70 Euro. Memang ada uang, ada kenyamanan ya.
Gak kebayang gimana capeknya lewat tangga sambil bawa koper berat, saking capeknya sampai hawa dingin berubah jadi panas ya masš, baru sampai paris udah langsung olahraga. Udah gitu ternyata si bos nggak masalah kalau naik taksi aja.
BalasHapusTadi saya juga mikir kok stasiunnya banyak tangganya, apa nggak bikin capek para calon penumpang kereta, ternyata karena emang itu salah satu stasiun tertua ya.... Keren sih masih bertahan sampai sekarang.
Iya mbak, mana kopernya berat pulak hahaha. Tapi lumayan, karena pengalaman itu jadi cepat mengerti sistem metro Paris
HapusAgak ngakak saya baca tulisan masnya hehehh...keribetan bawa koper yg isinya perintilan lewat tangga ..sampe salto dan jumpalitan biar nyampe wkkwkw...iya juga sih kalau ngebayangin penyadang disabilitas lewat jalan kayak gitu kasihan banget....kita yg normal aja susah apalagi mereka
BalasHapusBetul mbak, makanya sistem mass rapid transit yang dibangun belakangan mulai lebih mengintegrasikan prinsip kemudahan aksesibilitas dalam desainnya
HapusSyukur kalau begitu mas ,kan memang seharusnya memudahkan penggunanya, mungkin karena bangunan /stasiun lama sih yaa...iya kenapa ga kepikiran naik taksi aja..ga ribet gotong"koperš
HapusIya mbak itu tadi, biar hemat. Kalau naik kereta kita cuma bayar 24 Euro berdua sampai hotel, kalau naik taksi bisa tiga kali lipatnya (70 Euro)
HapusNah, makanya saya lebih suka naik taksi
BalasHapustidak ribet, turunnya pas di depan tujuan
tak perlu tarik koper yang lumayan jauh
bikin lutut gemeteran haha
Semuanya juga pasti lebih suka naik taksi mas, cuma ongkosnya itu loh. Bandara ke hotel aja sudah 1 jutaan hehehe
HapusDuh itu jalur koridor dan tangganya panjang sekali ya Mas. Pantes saja bikin repot kalau membawa yang berat seperti menggeret koper itu.
BalasHapusAsik banget nih jejak langkahnya sudah sampai Paris, saya mah entah kapan bisa berkunjung kesana. Cuma tahu Paris dari beberapa film nya saja, seperti film "Midnight in Paris", misalnya.
Salam,
Semoga Om Asa diberi jalan juga untuk ke Paris. Semangat Om..
Hapusada harga ada kenyamanan memang yak š¤£ kalau bawaannya ga banyak sih enak naik kereta, bisa lihat-lihat transpot umum dan berasa petualangnya kaan hehe
BalasHapusbtw enak bingit bisnis tripnya sampai ke paris kak š¤©
Iya Furi, Alhamdulillah bisa duty trip ke Paris. Meski judulnya kerja, tetep bisa halan halan tipis
HapusAsiknya. Alhamdulillah diberi kenikmatan bisa ke luar negri.
BalasHapusAlhamdulillah semoga Om Tani juga bisa diberi kesempatan jalan jalan ke luar negeri
Hapussuka bgt dengan suansana stasiun metro. omg Le beau view!
BalasHapusCurhat (tadi aku dh komen panjang tp mendadak hilang entah kenapa :(
BalasHapusMungkin ketularan bad moodnya pas naik tangga dg koper yg beratnya kayak beban hidupš
Seru sih baca cerita ini, seneng bang cipu udh pernah ke Paris gtu dan ngeshare cerita.
Tapi semakin dibaca ke bawah makin lucu, cocok kalo judulnya musuhan sama Metro kwkw. Palagi tangganya memang mengsyedih banget. Tp ya namanya juga sudah tua yak, dan mash tetap digunakan tuh bangunannya.
Terlepas dari semua itu, pasti banyak hal menyenangkan. Dari foto2nya dh ceria dn lingkungannya juga oke banget. Berhalu ria dl aku bsa ke sana hehe
Sebetulnya tidak perlu ke paris, tangga stasiun yang tidak ramah juga ada di stasiun pasar senen. Itu tangganya juga terjal dan curam. Walaupun kayaknya ga sepanjang yang di metro paris. Ketika itu membawa koper ukuran sedang. Emang sangat merepotkan sih ketika beban koper bertemu dengan tangga yang terjal.
BalasHapusPas selanjutnya akhirnya menggunakan jasa porter stasiun untuk bawa tas dan kopernya :D
Bangunan dulu memang belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Akhirnya banyak bangunan yang disesuaikan lagi untuk memenuhi kebutuhan kaum disabilitas. Memang belum semuanya, semuanya berjalan bertahap.
aku juga pernah berpikiran overthinking saat melakukan perjalanan dinas, semacam nggak nyadar aja kalau perjalanan waktu itu untuk urusan kantor dan biayanya juga bisa diclaim ke kantor
BalasHapusjadi inget sama diriku sendiri waktu ke Bangkok, geret geret koper melewati trotoar di depan central world, lewati pratunam, karena lokasi turun kereta ke hotel jauhh banget hahaha. Terus masih naik turun tangga, aslii rasanya kek capekk gitu traveling bawa koper, tapi kalau bawa backpack juga capek di pundak
Ending-nya pecah, Bang. Hahaha. Saya juga pas tengah-tengah--setelah mencerna informasi penting di paragraf-paragraf awal--mikir begini: "Kalau perjalanan dinas, kenapa nggak naik taksi aja, ya?"
BalasHapusgimana kalau kopernya dilempar aja, trus kita lewat tangga tanpa membawa koper yang berat. hehehe
BalasHapusMas cupu, I feel you, sangaaaat SANGAAAT feel you š¤£š¤£š¤£š¤£.
BalasHapusUdah kebayang gotong koper besar melewatin tangga jahanam di stasiun LN gini
Tapi dulu aku ngerasain nya di Jepang . Kami banyak pindah2 prefectures kan, jadi setiap pindah ya gotong koper size besar , ditambah 3 koper size kabin. Itu belum stroller anakku yg waktu itu msh 4 tahun kurang š¤£.
Di Jepang utk stasiun besar banyak sih lift nya. Tapi tempatnya tersembunyi, atau kami aja yg ga tau di mana. Jadi ketemuanya tanggaaaa Mulu. Mana tinggi dan curam. Beberapa kali suami harus turun naik berkali2, untuk bawa koper, dan angkat stroller š .
Yg paling nyebelin kadang, begitu udah angkat2, baru sadar oh liftnya di sanaaa, tapi ttp aja jauh š¤£
Cuma skr aku udh pinter, kalo jepang, ga ada cerita gotong koper. Kirim aja pake takyubin tiap pindah prefectures š . Praktis..
kalau misal naik taksi, nanti nggak bakal ketemu tangga-tangga jah*nam itu dong mas & nggak akan muncul tulisan ini wkwkwk
BalasHapusbtw kayaknya itu cocok banget buat yang suka olahraga juga ya hehe
kalau naik taksi, nanti nggak bakal dapat pengalaman seru sama tangga-tangga jah*nam itu lho mas & nggak akan muncul tulisan ini wkwkwk
BalasHapus